Nusantarakini.com, Manhattan City –
Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an menyebutkan berbagai sifat atau karakteristik hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa. Sifat-sifat itu di masing-masing tempatnya dalam Al-Qur’an memiliki konteksnya secara khusus.
Perhatikan misalnya di Surah Al-Ahzab ayat 35, di mana Allah menyampaikan karakteristik atau sifat kedua jenis hamba Allah, laki dan perempuan. Konteksnya adalah untuk menekankan bahwa orang-orang beriman laki dan wanita itu memilki kedudukan, derajat dan kemuliaan yang sama. Walaupun kenyataannya tidak harus sama dalam fungsi dan tanggung jawab.
Konteks ayat di atas lebih kepada penekanan tentang “kesetaraan jender” (gender equality) dua jenis hamba Allah, laki dan wanita. Dalam hal keislaman keduanya adalah sama sebagai Muslim (Muslimiin-Muslimaat). Dalam hal keimanan keduanya sama beriman (Mukminiin-mikminaat). Demikian seterusnya.
Kali ini saya ingin menuliskan beberapa sifat atau karakterisitk hamba-hamba Allah (ibaad ar-Rahman) yang disampaikan di surah Al-Furqan ayat 63-77. Sifat-sifat ini telah banyak dibahas oleh para Ulama dalam berbagai buku. Salah satunya adalah “Sifaat Ebaad Arrahman” oleh Syeikh Abdurrahman Ibnu Naasir as-Sa’dee (1307-1376 H).
Ayat-ayat di Surah Al-Furqan itu menyebutkan 10 sifaat ibaad ar-Rahman (karakteristik hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang). Yang menarik juga adalah bahwa sifat-sifat tersebut sangat menonjol pada aspek sosial dan kemasyarakatan (social and communal matters). Sebuah penekanan bahwa Islam adalah agama kehidupan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan nyata manusia.
Hamba-hamba Yang Maha Rahman
Karakterkstik pertama dari orang-orang yang beriman di Surah Al-Furqan ini ada pada kata: وعباد الحمن itu sendiri. Bahwa sifat pertama mereka adalah “ibaad”. Yaitu menghambakan diri kepada yang Maha Rahman.
Penyebutan kata “ibaad” (hamba-hamba” menggambarkan sebuah posisi mulia dan agung di hadapan Allah SWT. Karena sesungguhnya panggilan “ibaad” jama’ dari “abdun” (hamba) bagi seseorang merupakan panggilan yang mulia, terhormat sekaligus menunjukkan kedekatan yang sangat antara sang “aabid” (hamba) dan “ma’buud” (Yang Maha disembah).
Kemuliaan penyebutan ini dikarenakan “abdun” adalah pelaku “ibadah” yang merupakan tujuan atau orientasi hidup manusia. Kehadiran manusia di atas bumi ini tidak lain adalah untuk menjadi “ibaad” (hamba-hamba Allah). Dengan kata lain, tujuan hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (lihat al-Dzariyat: 56).
Oleh karena itu ketika seseorang dipanggil sebagai “abdun” (hamba) maka seolah dia berada pada posisi mulia yang mengemban tugas dan misi utama kehidupan. Yaitu menyembah Allah SWT. Dan ini yang menjadikannya menduduki posisi mulia dan terhormat.
Saya akan mengambil tiga contoh saja dari Al-Qur’an untuk menguatkan argumentasi bahwa penyebutan “abdun atau ibaadun” itu merupakan pemuliaan dan penghormatan. Bahkan menunjukkan kedekatan yang sangat dengan Allah SWT.
Contoh pertama adalah pemanggilan Rasulullah SAW dalam Al-Qur’an berulang kali dengan kata “abdun”. Di surah Al-Baqarah misalnya Allah menyebutnya dengan “abdahu” pada ayat: “dan jika kalian ragù terhadap apa yang Kami (Allah) turunkan kepada hambaKu maka datangkan satu surah yang sama dengannya” (Al-Baqarah: 23).
Pada ayat ini Rasulullah Muhammad disebut sebagai “abdun” (‘abdina). Bukan dengan Muhammad. Tidak juga dengan penyebutan tanggung jawab kerisalahan yang ada di atas pundaknya sebagai “Rasul”. Justru ayat ini menyebut beliau dengan penyebutan mulia “abdun” karena konteksnya berkaitan dengan Al-Qur’an, Kalam Allah yang mulia.
Contoh kedua adalah di saat beliau diperjalankan di malam hari (Isra’) lalu diperjalankan ke atas (Mi’raj) Sidratul Muntaha. Beliau disebut sebagai “abdun”: “Maha Suci Allah yang memperjalankan hambaNya (abdahu) di malam hari dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsa” (Al-Isra: 1).
Penggunaan kata “abdun” (‘abdahu) di ayat ini karena relevansinya dengan sebuah perjaanan suci yang mulia, dari tempat yang suci dan mulia ke tempat yang suci dan mulia, untuk bertemu dengan Sumber segala kesucian dan kemuliaan. Sehingga Muhammad Rasulullah yang sedang mengalami perjalanan mulia dan suci itu itu dipanggil dengan penyebutan termulia “abdahu”.
Contoh ketiga, pemanggilan mereka yang pendosa namun punya keinginan untuk kembali ke jalanNya. Mereka dalam Al-Qur’an disebut “عبادي” (hamba-hambaKu”.
Di Surah Az-Zumar ayat 53 Allah memanggil mereka yang pendosa: “Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka sendiri. Jangan berputus asa dari kasih sayang Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha mengampuni lagj Maha Penyayang”.
Penyebutan mereka yang berdosa di ayat ini sebagai “ibaad” atau hamba-hamba menunjukkan kemuliaan dan kehormatan sekaligus kecintaan Allah kepada hamba-hambaNya yang mau bertaubat. Kemuliaan bertaubat menjadikan pelaku taubat juga dipanggil dengan panggilan yang mulia (ibaad).
Demikianlah karakter atau sifat pertama dari orang-orang beriman di surah Al-Furqan ini. Bahwa mereka adalah hamba-hambaNya, yang berserah diri secara totalitàs dengan penghambaan kepadaNya. Dan karena penghambaan totalitàs inilah mereka dipanggil dengan panggilan “عباد الرحمن” (hamba-hambaYang Maha Rahman).
Sungguh sebuah sifat yang sangat agung dan mulia. Sebagian ulama bahkan mengatakan jika sifat-sifat selanjutnya hanyalah penguat atau pelengkap dari sifat “ubudiyah” (penghambaan) ini. Bahwa dengan sifat ini seorang Mukmin sukses dengan misi hidup dunianya untuk menghamba kepada Allah Yang Maha Rahman. (Bersambung). [mc]
Manhattan City, 17 Agustus 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.