Nusantarakini.com, Bandung –
Relatif tak lama. Hanya sekitar satu setengah tahun lagi. Itulah jadwal normal pagelaran pemilihan presiden (pilpres) di negeri ini. Sebuah renungan yang sering dipertanyakan banyak orang, akankah terselenggara pilpres itu sesuai jadwal yang telah disepakati DPR dan Pemerintah (14 Februari 2024)?
Sebagian pihak pesimis. Ada beberapa indikator yang dapat kita baca dengan kasat mata. Pertama, persiapan teknis penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum) sampai detik ini tidak menampak jelas. Dari sisi daftar pemilih tetap (DPT) masih “dimainkan” sedemikian rupa. Sekitar 52 juta lebih pemilih tercatat “siluman”. Pihak Kementerian Dalam Negeri selaku pemilik otoritas yang mengeluarkan DPT terlihat enggan merevisi keberadaan DPT yang penuh mencurigakan itu. Keengganan itu menimbulkan pertanyaan, untuk apa pilpres diselenggarakan? Pesimisme itu kian menguat sejalan dengan pemenangnya telah ditentukan sejak dini. Penentuan sang pemenang bukanlah berita burung: Hasnaini selaku “gacoan” Hasyim Asy’ari, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pernah membocorkan skenario itu.
Terkait DPT, Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) pun menimpali dengan sikap politik. Beberapa waktu lalu, BAWASLU menyarankan untuk menunda pemilu (pilpres). Saran BAWASLU – sebagai indikator kedua – tampaknya sebuah orkestra yang tak jauh beda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa waktu lalu yang mengabulkan Partai Prima, yakni – salah satu amarnya – menunda pemilu, yang direspons positif oleh Istana dan KPU dengan cara mengajukan banding.
Ketiga, di lapangan, kita dapat menyaksikan tak ada “hiruk-pikuk” KPU mempersiapkan perangkat teknis, mulai dari hal yang sangat kecil seperti tinta, kotak suara. Mengacu pada beberapa perhelatan pemilu lalu, jauh sebelum hari “H”, sudah bergema tender untuk pengadaan tinta, kotak suara dan lain-lain. Sementara, perangkat properti integral yang remeh-temeh itu dapat dikatakan sepi.
Keempat, di lapangan pun terendus suara dari kalangan intelijen tentang tiadanya pemilu (pilpres). Jika dipaksakan ada, hanya terdapat dua pasangan kandidat (Ganjar dan Prabowo) sebagai dua kandidat yang sama-sama senafas dengan kepentingan oligarki sebagai the real president of Indonesia. Langkah penyetelan ini sudah sedemikian rapi, sampai ke tingkat paling bawah: TPS. Bahkan, pengawalannya dengan menghadirkan aparat kepolisian tingkat RW. Sekedar pengamanan, atau sampai ke tingkat intimidasi? Di lapangan sudah terkonfirmasi, mereka sudah melakukan soft intimidation kepada kelompok masyarakat yang pro kandidat non Prabowo-Ganjar.
Memang – di sisi lain – kita saksikan gerakan politik rivalitas kontestasi pilpres. Di sana-sini, kita saksikan sejumlah manuver terkait rivalitas itu. Namun, secara paralel, istana pun tetap bermanuver. Arahnya jelas: upaya memaksa perpanjangan masa jabatan Presiden saat ini, meski dengan cara “obat-nyamuk” zaman baheula (melingkar-lingkar). Kita saksikan, sejumlah manuver gagal. Tapi, upaya itu tak pernah henti. Dan belum lama ini, kita juga disuguhkan pendekatan ide perpanjangan masa jabatan melalui instrumen kepala desa, dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Gagasan ini pun direspon positif oleh parlemen (DPR dan DPD).
Sejumlah manuver tersebut masih tetap belum jelas hasilnya. Karena itu – sebagai indokator kelima – rezim ini terus menggunakan sisa masa jabatannya. Ada gerakan “mumpungisme” (carpedium) dengan cara menghadirkan sejumlah kebijakan yang sangat tidak popular. Belum lama ini disahkan UU Kesehatan dan UU Cipta Kerja, yang semuanya paradoks dengan kepentingan rakyat. Di sisi lain, rezim ini juga kian “membabi-buta” untuk mempercepat UU dwikewarganegaraan, terutama bagi warga China. Dengan promosi besar-besaran dan agresif, rezim ini – melalui Menteri Hukum dan HAM – datang langsung ke Beijing untuk menawarkan status dwikewarganaraan, minimal golden visa. Dalam masa bersamaan, derap pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) dipaksa cepat terealisasi, ditambah dengan obral perlakuan istimewa kepada para investor: 160 tahun Hak Guna Bangunan (HGB) plus bebas pajak sekitar 35 tahun. Tawaran halus, yang sesungguhnya merupakan etape penyerahan wilayah kepada asing (China).
Sejumlah kebijkan rezim carpedium ini tampak didesain untuk membangkitkan kemarahan rakyat. Skenario penggiringan ini dapat dibaca sebagai jebakan (trap). Agar, komponen rakyat terpanggil untuk memaksa rezim ini lengser. Jika skenario ini berhasil, maka tampaknya rezim sudah mempersiapkan amunisi. Atas nama negara dalam kegentingan yang memaksa, Presiden mengeluarkan dekrit. Dalam hal ini ada dua kemungkinan: Presiden menyatakan pemilu ditunda, sekaligus dirinya mendaulatkan diri perpanjangan masa jabatannya. Atau, menunjuk seseorang sebagai penggantinya yang dinilai senafas dengan kepentingan strategis rezim ini, tanpa pemilu.
Pertanyaannya, apakah kita akan terperangkap oleh permainan tricky rezim ini? Hal utama yang perlu kita baca adalah, jika terjebak pada irama permainan rezim ini, maka di depan mata, negeri ini akan kehilangan kandidat potensial yang kita gadang-gadang sebagai pemimpin negeri ini, saat ini: Anies Baswedan. Jebakan itu – harus kita catat – sebagai skenario penggagalan kandidat potensial dan magnetic itu. Rezim carpedium ini memang – dari awal hingga titik akhir – mendesain “penggembokan” pintu gerbang sedemikian kuat: agar Anies tidak sampai duduk di istana. Tentu, ada argumentasi politiknya yang sangat mendasar. Yaitu, keterancaman masa depan kepentingan oligarki di Tanah Air ini. Juga, kepentingan keselamatan penguasa dengan seluruh keluarganya dan para kroninya. Bahkan, terpupusnya harapan kaum komunis baru yang untuk mengkomuniskan negeri ini yang sudah bergerak sejak 2014.
Dengan menganalisis irama permainan politik itu, maka people power bukanlah jawaban atau solusi tepat. Dengan kata lain, kita harus menahan diri dengan mengantarkan soft landing bagi rezim carpedium ini. Sikap politik ini memang bijak, namun mengundang dilema. Yaitu, rezim carpedium ini semakin tak terkendali mengeksploitase kewenangannya secara tanpa batas. Juga, semakin membuka migrasi besar-besaran makhluk China yang diduga kuat adalah barisan komunis. Dan migrasi elemen asing ini jelas arahnya: memperkokoh barisan komunis dalam negeri. Untuk itu people power adalah opsi gerakan yang terpaksa harus dikerahkan, bukan impeachment secara prosedural.
Kita tahu, konstitusi yang berlaku saat ini, proses impeachment prosedural bukan hanya panjang, tapi tidak memungkinkan hasilnya tak sesuai harapan. Sebab, rezim carpedium ini sudah “mengunci” sebagian besar parlemen dan Mahkamah Konstitusi (MK). Maka, konsep impeachment-nya adalah ekstra parlemen. Inilah opsi people power yang hadir based on kekuatan riil komponen rakyat.
Bagaimana prospek people power itu? Sejauh ini, kalangan intelijen sudah mengukur: kekuatan revolusioner rakyat nihil. Mereka bisa saja menilai seperti itu. Tapi, ada kekuatan jundullah yang tak terbaca di lapangan saat ini. Jundullah yang ratusan ribu bahkan jutaan jumlahnya dikerahkan ketika kaum suci sudah turun tangan. Bagai burung ababil saat menghabisi kekuatan Raja Abrahah pada tahun 571 M. Panorama jundullah pernah kita saksikan di sekitar Jakarta pada pergolakan 1999. Sebuah kekuatan Asal Bukan Habibie (ABH) yang menghadapi barisan kekuatan Asal Bukan Mega (ABM). Juga, pada tragedi Poso beberapa tahun silam. Jadi, catatan kalkulatif kaum intelijen jelas menegasikan kekuatan revolusioner rakyat.
Yang perlu dirancang secara dini, gerakan politik kerakyatan itu bukanlah sekedar menumbangkan atau mengakhiri kekuasaan rezim ini, tapi bagaimana mengefektifkan hasil penumbangannya. Dalam hal ini perlu dicerna dengan rasional bahwa arah atau subyek pelengserannya adalah sumbu determinan kekacauan dan kehancuran negeri ini. Yaitu, kelakuan mobokratif Presiden saat ini. Subyek inilah yang harus menjadi target. Dengan cara pandang ini, maka – dan hal ini sesuai konstitusi – Wakil Presiden naik menjadi Presiden, sebagai pengganti Presiden yang di-impeached secara ekstra parlemen itu.
Dalam kaitan itulah, seluruh komponen kekuatan rakyat harus mem-back up Presiden baru ini secara full out. Tugas utamanya jelas dan tegas: mengakhiri sekaligus mencegah ketidakterkendalian praktik kekuasaan rezim carpedium Jokowi itu. Dan Presiden baru, Ma`ruf Amin bertugas untuk memastikan jalannya pemilu (pilpres) yang jujur. Kompetisi silakan, tapi dalam koridor demokrasi yang on the track. Jika skenario ini terwujud, maka – satu sisi – kita harus respek penuh kepada seluruh komponen yang terlibat dalam people power demi menyelamatkan negara dan bangsa. Di sisi lain, Ma`ruf Amin pun akan meninggalkan legacy emas yang akan melegenda. Sikap politik husnul khatimah yang akan menjadi amal jariah. Subhanallah. [mc]
Bandung, 26 Juli 2023.
*Agus Wahid, Analis dari Center for Public Policy Studies – INDONESIA.