Nusantarakini.com, New York –
Ketika matahari terbenam di hari Jumat sore itu, Ali sudah berada di rumah Rasulullah SAW. Ali ketika itu baru berumur sekitar 18-19 tahunan. Seorang anak remaja atau pemuda yang pintar dan pemberani. Beliau yang juga sepupunya dan kelak mertuanya itu ditugasi untuk menggantikan Rasulullah tidur di tempat tidurnya malam itu.
Sementara itu, setelah gelap gulita, sekitar ba’da isya para pemuda yang ditugasi untuk menghabisi Rasulullah dari semua suku, kecuali suku Bani Hasyim, telah hadir mengelilingi rumah Rasulullah SAW. Niat mereka adalah menghabisi Rasulullah ketika beliau keluar dari rumahnya di esok subuh. Mereka secara bersama-sama berencana memenggal leher beliau sehingga tidak satu suku pun yang disalahkan.
Sementara itu Rasulullah telah matang dengan persiapannya untuk meninggalkan rumahnya. Segera menjelang tengah malam Rasulullah dengan pelan membuka pintu rumah itu. Beliau melihat para algojo itu. Apalagi memang musim panas dan biasanya langit Mekah pasti cerah. Beliau kemudian melangkah keluar sambil membaca surah Yasin ayat ke-9. Dengan izin Allah para pemuda itupun menjadi mengantuk dan tertidur. Dalam riwayat lainnya disebutkan dan mereka tidak melihat Rasulullah lewat di hadapan mereka semua.
Rasulullah langsung menuju rumah Abu Bakar yang telah bersiap dengan dua ekor onta. Abu Bakar juga mengambil semua sisa uangnya. Konon sekitar 5000 dirham. Untuk diketahui, Abu Bakar sebelum masuk Islam adalah saudagar kaya dan terhormat. Kekayaannya mencapai sekitar 50,000 dirham. 45,000 telah dihabiskan untuk membiayai perjuangan Rasulullah, termasuk membebaskan budak-budak yang ketika itu masuk Islam. Mungkin yang paling mesyhur adalah beliau membebaskan Bilal bin Rabah (RA) dari perbudakan setelah masuk Islam.
Abu Bakar berangkat bersama Rasulullah meninggalkan anak-anak di Mekah (Asma, Abdullah, dan Aisha). Ayah beliau saat itu, Abu Qahafah adalah seorang buta dan saat itu masih kafir bahkan anti Islam. Ketika dia ketahui kalau Abu Bakar meninggalkan anak-anaknya tanpa satu dirham sekalipun dia kembali mengejek anak (Abu Bakar) dan cucunya (Asma): “Bapak apa itu ayahmu. Meninggalkan kamu tanpa bekal sedikit pun,” katanya kepada Asma. Umur Asma ketika itu sekitar 17 tahunan.
Mendengar itu Asma mengambil kantong yang biasa dipakai ayahnya menyimpan uang dan memasukkan batu-batuan. Lalu kakeknya diminta mengangkatnya sambil berkata: “Ini ayahku meninggalkan banyak uang untuk kami.” Kakeknya (Abu Quhafa) pun terdiam. Dia tidak tahu kalau dalam kantung itu hanya bebatuan. Walau hatinya tetap menggerutu merasa anaknya (Abu Bakar) tidak bertanggung jawab meninggal dirinya dan keluarganya di Mekah demi Muhammad.
Sementara itu Rasulullah dan Abu Bakar memulai perjalanan. Tapi tidak langsung menuju arah Madinah. Namun menuju ke arah yang berseberangan. Beliau menuju sebuah gua bernama Tsur (Ghar Tsur). Madinah dari Mekah mengarah ke Utara. Sementara Gua Tsur di Mekah mengarah ke Selatan. Pastinya tujuan mereka adalah mengelabui para penjahat Mekah itu.
Sampailah mereka di Gua Tsur. Sebuah tempat tidak mudah mencapainya karena bebatuan dan menanjak tajam. Beda dengan Jabal Nur yang memang lebih mudah dicapai puncaknya. Abu Bakar meminta agar dirinya terdahulu yang masuk ke lobang gua itu. Tentu untuk memastikan keamanan dalam gua itu dari hal-hal yang membahayakan Rasulullah, khususnya binatang berbahaya.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa sebelum memasuki Gua Tsur Abu Bakar berkata kepada Rasulullah: “Biar aku yang turun terdahulu ya Rasulullah. Jika aku mati, kematianku hanya sendiri. Tapi jika engkau yang mati, kematian engkau adalah kematian umat secara keseluruhan.”
Setelah Abu Bakar di dalam dan memastikan keamanannya bagi Rasulullah, beliau memberikan isyarat untuk Rasulullah memasuki lobang gua itu.
Sesaat setelah berada di dalam gua itu Rasulullah teridur di atas paha sahabatnya Abu Bakar. Abu Bakar menjaga untuk tidak bergerak agar Rasulullah dapat tenang tertidur. Tiba-tiba saja ada air yang terjatuh ke wajah Rasulullah. Rasulullah terbangun dan bertanya: “Air apa gerangan wahai Abu Bakar?”. Beliau menjawab: “Air mataku ya Rasul. Aku menahan rasa sakit dari sengatan seekor kalajengking”. Rasulullah kemudian membasuh bekas sengatan itu dengan air ludahnya dan tiba-tiba rasa sakit itu hilang segera.
Mereka istirahat sangat singkat. Namun Rasulullah merasakan ketenangan di tengah ancaman hidupnya. Menjelang fajar mereka terbangun. Tentu untuk sholat dan ibadah lainnya. Tiba-tiba Abu Bakar mendengar derap langkah kaki. Bahkan melihat dengan jelas para pemimpin Mekah berada di luar gua itu. Beliau kembali gelisah dan gusar. Khawatir bukan atas keselamatan dirinya. Tapi keselamatan habibnya, Rasulullah SAW.
Abu berkata: “Ya Rasulullah, kalau mereka melihat ke dalam lobang ini maka mereka akan melihat dan membunuh kita”.
Rasulullah SAW menjawab: “Tidakkah kamu meyakini bahwa ketika ada dua orang pastinya Allah akan hadir menjadi ketiganya?”
Beliau kemudian melanjutkan: “Jangan sedih, jangan takut karena Allah bersama kita”.
Ucapan Rasulullah itu dipatenkan oleh Allah dalam bentuk informasi samawi (wahyu) di dalam Kalamnya di Surah At-Taubah ayat 40. Intinya Rasulullah mengingatkan sahabatnya untuk tetap tenang dan tidak panik karena ada Allah bersama mereka.
Sebagian menafsirkan bahwa kalimat “Bala tentara yang belum pernah engkau lihat” adalah sarang burung dan jala laba-laba yang tiba-tiba saja menutupi pintu gua itu setelah Rasulullah dan Abu Bakar masuk ke dalamnya. Tapi cerita ini tidak memiliki riwayat yang kuat. Sehingga sebagian besar tetap menafsirkan kata “bala tentara” itu dengan para malaikat.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa sebelum mereka meninggalkan rumahnya Abu Bakar telah melakukan persiapan yang cukup matang dan menyeluruh. Selain Asma yang menyediakan makanan, Abu Bakar juga mempersiapkan tiga orang lainnya untuk tugas yang berbeda.
Pertama, anaknya sendiri yang bernama Abdullah bin Abi Bakar. Dia adalah adik dari Asma. Kemungkinan besar berumur sekitaran 14 tahun. Tugasnya adalah berpura-pura belanja atau sekedar bermain ke sana kemari sambil mencari tahu pembicaraan para pembesar Mekah tentang apa yang mereka rencanakan mengenai Muhammad SAW. Setelah itu secara diam-diam menemui ayahnya dan melaporkan rencana mereka.
Kedua, Amir bin Fuhairah, mantan seorang budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar. Dia tetap bekerja untuk Abu Bakar sebagai penggembala. Tugasnya adalah menggiring kambing-kambingnya untuk menghapus bekas langkah Abdullah bin Abi Bakar.
Ketiga, seorang non Muslim dari kalangan Badui yang juga bernama Abdullah bin Uraiqi. Dia inilah yang akan menjadi penunjuk jalan bagi Rasulullah menuju Madinah dua hari kemudian.
Hingga tibalah malam itu, Minggu malam selepas tengah malam atau Senin dinihari, Rasulullah dan Abu Bakat dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqi tadi dengan diam-diam meninggalkan gua itu. Perjalanan yang mereka ambil bukan jalan biasa. Jalan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dengan keahlian tertentu pula.
Perjalanan itu menelusuri jalan menuju Jeddah (saat ini) lalu membelok menuju Madinah. Jadi bukan jalan biasa yang dipakai oleh khalayak umum dari Mekah ke Madinah (atau Madinah-Mekah). Namun ternyata jalan yang diambil oleh Rasulullah di malam Hijrahnya inilah di kemudian hari menjadi jalan poros Mekah-Madinah. Saat ini dinamai Syari’ Al-Hijrah.
Sementara itu, di pagi Senin hari itu para pemimpin Mekah semakin panik dan marah. Mereka sepakat membuat sayembara dengan hadiah yang tidak main-main. Bahwa barangsiapa yang bisa membawa Muhammad kembali ke Mekah, dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah 100 ekor onta.
Salah seorang penduduk Mekah, ahli kuda dan tahu menelusuri bekas telapak perjalanan orang menangkap peluang itu. Orang itu bernama Suraqah. Nama ini barangkali yang jadi terpatenkan ke dalam bahasa Indonesia “serakah” (Allahu a’lam). Bersambung! [mc]
NYC Subway, 25 Juli 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.