Nusantarakini.com, Jakarta –
Semua kasat mata tampak ditempuh guna menjegal pencapresan Anies Baswedan. Dilakukan dengan segala cara tanpa risih, bahwa yang dilakukan itu hal tidak semestinya. Menganggap apa yang dilakukan meski dengan ugal-ugalan itu bisa diterima. Tentu tidak mesti demikian.
Kepanikan terkadang memunculkan sikap-sikap penuh keanehan. Bisa diam membisu, dan itu murni karena diri tak berdaya. Tapi ada kecemasan yang memunculkan kenekatan tersendiri. Dan, itu bisa karena sokongan kekuasaan yang dipunya. Kenekatan yang menghadirkan sikap otoriter memaksa sesuai kehendaknya.
Melihat sikap dan tindakannya–meski dengan melanggar azas kepatutan–kita seperti dipertontonkan melihat orang nekat yang bertindak tanpa berpikir. Padahal sikap yang muncul itu bentuk kecemasan yang sangat, yang lalu diekspresikan menjadi laku nekat.
Agaknya sikap nekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan melanggar azas kepatutan, itu sebenarnya bentuk kepanikan tersendiri. Sehingga muncul pernyataan yang tidak sepatutnya disampaikan, dan itu dengan terang-terangan. Sekalipun itu disuarakan dalam hati saja, itu sudah menyalahi azas kepatutan. Apalagi itu diucapkan terang-terangan seolah disadarinya. Enteng meluncur saja dari mulutnya, suara hati yang sulit disembunyikan dan perlu disampaikan jadi konsumsi publik.
Pernyataan Jokowi teranyar seperti menantang azas kepatutan untuk tunduk dengan apa yang diinginkannya. Persetan dengan azas kepatutan–demi rakyat dan bangsa, saya akan cawe-cawe dan tidak netral.
Tampak sebagai sikap jumawa yang ditampakkan, yang sebenarnya itu ekspresi kepanikan, yang dimanifestasi jadi kenekatan. Muncul ulah diluar kepatutan menantang-nantang akal sehat.
Apa yang disebutnya dengan cawe-cawe dan tidak akan netral dalam pemilu, penekanannya lebih pada estafet kepemimpinan nasional. Bersandar seolah itu demi rakyat dan bangsa, itu boleh jika disebut tipu-tipu menyederhanakan masalah. Menjelma jadi raja absolut, yang terbiasa melanggar azas kepatutan, jika itu menyangkut apa yang diinginkan.
Tidak perlu berpikir, bahwa apa yang diniatkannya untuk cawe-cawe dan tidak netral dalam suksesi kepemimpinan nasional, akan memunculkan perlawanan yang sulit dihindarkan. Parlemen yang tidur panjang tidak mustahil akan bangkit mengoreksinya, bahkan memakzulkannya.
Jika parlemen tak juga terjaga, bisa jadi rakyat akan bergerak dengan caranya. Tidak mustahil terulang aksi yang lebih dahsyat dari 1998, tumbangnya rezim otoriter Suharto. Kejatuhan mengenaskan, yang tentu tidak diharap terulang kembali. Cost-nya terlalu mahal.
Rasa panik mengakhiri masa jabatan sebagai presiden–itu yang tampak dan jadi analisa berbagai pihak–memunculkan kenekatan tersendiri. Meski dengan menabrak azas kepatutan dan, atau aturan ketatanegaraan. Memaksa bagai raja semaunya dalam menghadirkan penggantinya dengan dalih pembangunan haruslah berkelanjutan menurut versinya, itu menunjukan sikap aneh.
Jokowi berharap semua yang dikerjakan tidak akan terkoreksi dengan munculnya arus perubahan yang tak dikehendaki. Karenanya, ia perlu memastikan penggantinya, dan itu dengan cawe-cawe, yang semestinya itu hak rakyat untuk memilih siapa yang dikehendaki menggantikannya. Sikap tidak netral itu bentuk menjegal satu pihak, dan agar calon presiden yang di-endorse itu muncul jadi penggantinya.
Segala cara untuk menghentikan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang mengusung Anies Baswedan terus dilakukan lewat berbagai cara. Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko, itu upaya merampas Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono, tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA).
Memang belum diputus siapa yang berhak atas Partai Demokrat, tapi setidaknya apa yang “dibocorkan” Prof Denny Indrayana, bahwa kemungkinan kasus PK Moeldoko bisa jadi akan tukar guling dengan kasus petinggi MA yang tengah dibidik Kejaksaan. Artinya, MA akan memenangkan Moeldoko. Karenanya, anak buah Jokowi itu yang berhak atas Partai Demokrat. Jika itu terjadi, maka pupus sudah pencapresan Anies Baswedan. Itu skenario yang dimainkan. Tapi tunggu dulu, pastilah itu belum selesai, Tuhan punya rencananya sendiri, yang mustahil itu bisa terkoreksi.
Semua kasat mata tampak ditempuh guna menjegal pencapresan Anies Baswedan. Dilakukan dengan segala cara tanpa risih, bahwa yang dilakukan itu hal tidak semestinya. Menganggap apa yang dilakukan meski dengan ugal-ugalan itu bisa diterima. Tentu tidak mesti demikian.
Tidak netral itu identik dengan menghadirkan ketidakadilan. Maka menjadi aneh jika sikap tidak netral yang akan dilakukan Presiden Jokowi diutarakan dengan menarik-narik demi kepentingan bangsa, seakan itu hal sepatutnya. Sikap tidak netral, dan itu ketidakadilan yang diterus-teruskan. Pada saatnya akan memunculkan perlawanan rakyat mengoreksi dengan kerasnya. Semua akan tiba pada saatnya untuk mengakhiri ketidakadilan, dan itu pasti. [mc]
Foto: RMOL, edited.
*Ady Amar, Kolumnis.