Nusantarakini.com, New York –
Dunia kita adalah dunia yang bercirikan dengan ilmu. Dan sejatinya Islam adalah agama yang terbangun di atas dasar keilmuan. Hanya dengan Ilmu, aspirasi Islam untuk mencapai kesuksesan dunia-akhirat (hasanah fid-dunia wa hasanah fil-akhirati) akan tercapai.
Sehingga sangat wajar jika semua aspek ajaran Islam terbangun di atas dasar keilmuan. Iman bukan dengan rasa dan emosi semata. Walau rasa dan emosi menjadi konsekwensi dari keyakinan seseorang. Tapi iman harus dengan ilmu. “Ketahuilah (berilmu) sesungguhnya tiada tuhan kecuali Dia”.
Hanya saja pada galibnya keilmuan dunia kita saat ini hanya terbatas pada tataran informasi semata. Sehingga manusia memiliki begitu banyak informasi tapi sangat sedikit yang memili ma’rifat (ilmu dengan pemahaman). Bahkan dalam hal keagamaan sekalipun. Ilmu pada tataran ini yang diistilahkan oleh Rasulullah SAW dengan “ilmun bil-lisan”. Ilmu yang tidak menembus ke relung qalbu manusia.
Kisah ketiga yang populer di Surah Al-Kahf menceritakan pergulatan keilmuan itu. Mengingatkan betapa ilmu itu menjadi jalan kesuksesan “siapa yang mau sukses dunia hendaklah dengan ilmu. Siapa yang mau sukses akhirat hendaklah dengan ilmu. Dan siapa yang mau keduanya hendaklah dengan ilmu” (hadits). Tapi ilmu juga dapat menjadi jalan fitnah bagi seseorang.
Cerita nabi Musa AS dan Khaidir AS menjadi cerita yang kadang dianggap dongeng mereka yang tidak beriman. Tapi itu kisah Al-Quran itu adalah kisah nyata dari seorang nabi yang Allah berikan penjagaan (al-‘Ishmah) agar tidak tergelincir ke dalam fitnah keilmuan.
Kronologis cerita ini tidak perlu saya sebutkan lagi. Tapi intinya cerita itu mengingatkan Musa AS untuk tidak terjatuh ke dalam fitnah keilmuan. Jangan sampai lupa bahwa dirinya adalah manusia biasa. Hanya saja diangkat menjadi nabi dan diberikan wahyu. Allah menjaga musa dari kemungkinan terjatuh dalam perasaan paling mengerti, lebih dari siapapun. Kisah ini diceritakan dari ayat ke 62 hingga ke ayat 82 di surah Al-Kahf.
Kita ketahui bahwa manusia dalam hal keilmuan itu ada empat golongan.
Pertama, mereka yang memang tahu (berilmu) dan tahu kalau mereka tahu. Mereka ini dengan ilmunya akan memberikan manfaat luas. Bahkan ilmunya menjadi jalan kebaikan dan amal jariyah.
Kedua, mereka yang tahu tapi tidak tahu kalau mereka tahu. Mereka ini tahu dan berilmu. Tapi mereka tidak sadar sehingga pasif dan kurang bermanfaat untuk orang lain. Ilmunya boleh saja bermanfaat bagi dirinya sendiri. Tapi tidak untuk masyarakat luas.
Ketiga, mereka yang tidak tahu dan tahu kalau mereka tidak tahu. Mereka ini orang-orang yang sadar diri. Bahwa mereka memang tidak tahu. Sehingga walaupun mungkin bodoh, mereka tidak menyesatkan orang lain.
Keempat, mereka yang tidak tahu dan tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Mereka inilah yang sangat berbahaya. Tidak saja bahwa mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan. Bahkan juga bisa menyesatkan dan menjadi jalan kebinasaan bagi orang lain. Lebih tragis lagi, orang yang seperti ini seringkali angkuh dengan perasaan berilmu.
Dalam dunia yang terbuka saat ini, khususnya dengan keterbukaan media dan informasi, menjadi sangat perlu untuk sadar akan kapasitas kita masing-masing. Jangan sampai terbawa arus seolah tahu dengan banyak hal. Tapi realitanya diselimuti oleh kebodohan dan kepura-puraan.
Perlu mengingatkan diri saya dan kita semua, khususnya mereka yang bergelar keilmuan. Dan lebih khusus lagi gelar keilmuan agama agar berhati-hati dan sadar. Jangan sampai merasa tahu, tapi sesungguhnya tidak tahu. Kita dapat tersesat dalam kepura-puraan. Bahkan boleh jadi menjadi jalan kesesatan bagi orang lain di sekitar kita.
Para Kyai, ustadz, Syeikh, Imam, Maulana, Malvi, dan seabrek gelar keagamaan itu bisa menjadi fitnah jika tidak disadari dengan kesadaran batin. Ilmu sejati adalah ilmu yang mengkoneksi antara hati dan akal (heart and brain). Itulah keilmuan yang akan melahirkan manusia “ulil albab” yang terpuji dalam Al-Quran.
Semoga Allah menjaga kita. Amin! [mc]
NYC subway, 1 Juni 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.