Nusantarakini.com, Jamaica Hills –Satu hal yang pasti adalah bahwa dunia ini begitu sangat kuat dalam tipuan (ghuruur). Pada sisi lain dunia ini dirasakan sebagai keindahan (ziinah) dan kesenangan (mataa’) yang melupakan (lahwun). Realitanya kemudian mayoritas manusia menjadi lupa jika dunia hanyalah kesenangan yang sedikit (mataa’un qaliilun) dan sangat terbatas (ilaa hiin).
Dahsyatnya tipu daya dunia menjadikan banyak manusia yang terpedaya. Mereka menjadi lupa Tuhan, lupa diri, dan juga lupa orientasi hidup yang sesungguhnya. Manusia yang tertipu itu berbalik pandangan dari yang seharusnya melihat dunia sebagai jembatan atau tempat menanam (mazra’ah) menjadi dunia sebagai destinasi (tujuan). Akibatnya orientasi hidup berbalik menjadi orientasi duniawi.
Akibatnya tujuan hidup yang asli untuk menghambakan diri kepada Pencipta brrbalik arah. Pandangan hidup berubah dari orientasi ubudiyah (pengabdian) dan demi kehidupan yang abadi (ukhrawi) menjadi kehidupan yang berorientasi kesementaraan (duniawi).
Al-Qur’an menggambarkan kehidupan yang demikian di Surat 30: 7: “mereka tahu segala yang berifat lahir dari kehidupan dunia. Tapi mereka lalai dari kehidupan akhirat”.
Kehidupan yang demikian itu dalam bahasa modern disebut “materialis”. Paham tentang hidup yang demikian disebut “materialisme”. Sebuah paham yang meyakini seolah kehidupan dunia dan material inilah segalanya.
Cara pandang atau paham kehidupan yang demikian jelas adalah bentuk disorientasi kehidupan. Yaitu kehidupan yang sedang kehilangan arah yang sesungguhnya. Arah atau orientasi kehidupan yang digariskan oleh Allah, Pemilik langit dan bumi. Yaitu untuk mengabdi kepada Allah (ibadatullah) dan berjuang untuk akhirat sebagai kehidupan yang sejati dan abadi (lahiyal hayawaanu).
Di sinilah puasa hadir sebagai keberkahan untuk mengingatkan manusia bahwa dunia bukan segalanya. Bahwa kehidupan ini lebih dari batasan-batasan fisikal semata. Di balik dinding-dinding material duniawi ini ada yang lebih penting dan menjadi orientasi kehidupan. Itulah pengabdian kepada Allah dan bertujuan mencari kebahagiaan ukhrawi.
Meninggalkan makan, minum, dan segala kesenangan dan kenyamanan hidup sementara menjadi pengingat, bahkan latihan untuk membangun kesadaran tentang orientasi kehidupan yang sesungguhnya. Dunia yang sangat dahsyat dalam daya tarik yang menipu itu perlu ditanggalkan dan ditaklukkan demi terbangunnya kembali kesadaran orientasi hidup yang benar.
Jika tidak maka manusia akan terus terbuai dan lupa akan realita kehidupan dunia yang sementara dan terbatas ini. Hal yang diingatkan oleh Al-Quran: “kamu dijadikan lupa oleh ‘takaatsur’ (memperbanyak harta). Sehingga kamu masuk ke dalam kubur”.
Manusia yang tidak sadar tentang kesementaraan dunia dan orientasi hidup yang benar hanya akan disadarkan oleh kematian. Dan kesadaran yang hadir dengan kematian hanya menjadi bagian dari musibah besar bagi manusia. Sebuah kesadaran yang tidak akan lagi terestorasi (terkoreksi) untuk menjadikan seseorang itu kembali ke orientasi hidup yang benar.
Karenanya puasa Ramadan sungguh menjadi keberkahan dalam merestorasi orientasi kehidupan itu. Puasa Ramadan menjadi jalan yang mengantar manusia kepada kesadarannya tentang dunia sesungguhnya, sekaligus membagun orientasi kehidupan yang benar. [mc]
Jamaica Hills, 28 Maret 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.