Nusantarakini.com, New York –Berselang hanya dua hari setelah Brookings Institute merilis hasil surveinya tentang persepsi bangsa Amerika kepada Islam dan orang-orang Islam. Kesimpulannya adalah pandangan positif kepada Islam naik drastis dari hanya 58% di tahun 2916 lalu menjadi 78% di tahun 2022 ini. Sebuah berita yang tentunya sangat menggembirakan, apalagi bagi kami yang berada di lapangan untuk membangun imej positif itu.
Dua malam kemudian, tepat di malam tahun baru terjadi penyerangan (pembacokan) kepada dua orang polisi yang sedang bertugas mengamankan malam tahun baru di Time Square, New York City. Konon kabarnya pelaku itu adalah seorang anak muda beragama Islam.
Kontan saja hampir semua berita menuliskan dengan headline: “Islamic extremist” melakukan penyerangan kepada dua anggota NYPD di malam tahun baru di Kota New York. Seolah menjadi kesepakatan pemberitaan dengan headline yang sama.
Padahal di malam yang sama (31 Desember 2022) di sebuah kota di Florida dan di sebuah kota di negara bagian Georgia juga terjadi penembakan. Bahkan penembakan itu menyebabkan hilangnya nyawa tiga orang manusia. Tapi tak satu agama pun yang diasosiasikan dengan pelaku penembakan itu dalam pemberitaan.
Kontan saja saya mencari tahu dari berbagai sumber pemberitaan. Saya mengganti beberapa kanal lokal TV dan menelusuri berbagai website media. Hampir semua media mainstream maupun media sosial menyebutkan: “suspect in New Year’s Eve NYC linked to Islamic Extremism”. Kata “Islamic” (Islam) kembali dipopulerkan.
Dari berbagai pemberitaan juga saya mengetahui bahwa dua orang korban (polisi) maupun pelaku (perpetrator) dibawa ke sebuah rumah sakit pemerintah di kota New York untuk mendapat perawatan. Kebetulan saya juga adalah Chaplain (penasehat spiritual) di rumah sakit kota New York. Sehingga saya bisa menelusuri daftar nama-nama pasien di rumah sakit tersebut.
Penyerangan itu terjadi di Sabtu malam (malam Minggu). Maka keesokan harinya, Senin, segera saya menemui sang pelaku di rumah sakit yang dimaksud. Sebelum menemuinya tentu saya melapor ke pihak pengamanan di depan kamarnya.
Ternyata di pagi itu pintu kamarnya masih tertutup. Saya mengetuk dan membukanya pelan. Ternyata pelaku itu baru terbangun dari tidurnya dan nampak menahan rasa sakit. Karenanya saya memutuskan untuk sekedar memberi salam, seraya melambaikan tangan dan menyampaikan jika saya akan segera kembali lagi.
Keesokan harinya saya menemui yang bersangkutan. Ternyata dia anak muda, berkulit putih (Caucasian) yang relatif masih berumur 20-an tahun. Ketika saya mengenalkan diri sebagai Imam/Chaplain dan memberi Salam, tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Percakapan di pertemuan kedua itu juga tidak lama karena yang bersangkutan masih nampak menahan sakit. Sehingga saya lebih banyak bertanya tentang keadaannya. Sekedar ingin menyelami perasaannya pasca menyerang polisi dan menyebabkan dirinya tertembak. Yang saya tangkap adalah bahwa dia anak yang sangat ramah, seolah tidak ada kejadian besar yang baru saja terjadi dalam hidupnya.
Hari ini, Senin 9 Januari kembali saya kunjungi dengan rencana akan bicara lebih lama dengannya. Alhamdulillah setelah melalui proses “security” saya masuk lagi ke ruangannya. Kali ini dia nampak lebih tenang, bahkan nampak riang dan ceria.
Saya memulai dengan menyapa: “how are you today, Brother?”.
Dengan ramah dia menjawab: “alhamdulillah, I am fine”.
Saya kemudian memulai dengan mengatakan bahwa kunjungan saya kali ini untuk mengetahui lebih dekat tentang dirinya dan latar belakangnya. Dia hanya mengangguk. Lagi-lagi dengan senyuman penuh keramahan.
“When did you convert to Islam?”, tanyaku.
“A few months ago. Last august”, jawabnya.
“Oh do you mean August of 2022?”, tanya saya.
“Yes, that’s right”, jawabnya.
Mendengar itu saya terkejut. Kok seseorang masuk Islam di bulan Agustus, lalu di bulan Desember di tahun yang sama telah menjadi “extremist” dalam agama?
Saya tentu tidak menyampaikan atau bertanya tentang hal itu. Tapi saya memang terkejut dan nyaris tidak paham kenapa anak yang nampak ramah ini dalam waktu yang sangat singkat berubah menjadi “extreme?”.
Saya kemudian menggali lebih jauh. “Did you learn the religion? Do you have a teacher?”.
Yang mengejutkan lagi dia menjawab: “yes. I read the Quran by my self”.
“Don’t you have any teacher or Imam who taught you Islam?”, tanya saya lagi. “No” jawabnya singkat.
“But did you convert? I mean di you take shahadah?”, saya memastikan.
“Yes I went to the mosque in the area”. Katanya singkat.
Saya tidak ingin lagi menggali keislaman dia. Khawatir justeru merasa tidak dipercaya. Saya kemudian menanyakan peristiwa di tahun baru itu. “What’s going on. Why did you attack the police?”.
Dia sepertinya menarik nafas dan menjawab: “I don’t know. I was just upset”.
“Upset about what?”, tanya saya.
“Dia kemudian mulai bicara banyak tentang berbagai ketidak adilan di berbagai belahan dunia. Dari tutur katanya saya menangkap jika anak ini pintar, menguasai banyak permasalahan dunia.
Dari pembicaraan dia juga saya menangkap bahwa dia memang hanya mengenal Islam dari internet. Itupun dari beberapa peristiwa buruk yang menimpa Umat Islam di berbagai tempat. Salah satunya berita-berita yang berkaitan dengan bangsa Afghanistan yang menurutnya telah puluhan tahun terzholimi.
Setelah saya mendengarkan secara seksama, bersikap seolah tidak tahu dan baru mendengar hal itu darinya, tibalah giliran saya berbicara.
“Saya bisa paham apa yang anda sampaikan. Anda punya hati dan niat yang mulia. Ingin membantu mereka yang terzholimi”, jelas saya.
“Tapi dalam Islam, niat dan tujuan yang baik itu tidak membenarkan segala cara” (good end doesn’t justify just any means).
Saya kemudian ingin mencontohkan tentang berhaji. Tapi sebelum itu saya ingin pastikan apakah dia paham apa itu haji. “You know Hajj, right?”, tanyaku.
“Yes” jawabnya singkat.
“Performing Hajj is a must. It’s obligatory. But you can’t go for hajj using stolen money” (hajj itu wajib. Tapi anda tidak mungkin dibenarkan melaksanakan haji dengan uang curian).
Dia nampak tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian mengatakan bahwa dia terlalu ikut emosi.
Saya katakan bahwa emosi itu memang menjadi bagian dari beragama. Hanya saja emosi dalam beragama tidak cukup. Bahkan jika tidak dibarengi ilmu yang cukup justeru sangat berbahaya.
Dia kembali mengangguk dan menyatakan: “yes I agree”.
Setelah berbicara panjang lebar yang tentunya tidak semuanya dituliskan di sini, saya mengingatkan: “anda tahu kalau esensi dasar Islam itu damai dalam ketaatan (peace with obedience). Damai dengan Pencipta, damai dengan diri sendiri. Dan juga damai dengan orang lain, bahkan lingkungan sekitar”.
Saya juga ingatkan bahwa karakter terpenting dari Islam itu adalah “compassion” (rahmah). Maka sebagai orang Islam, kita kedepankan Karakter ini dalam menjalani hidup. “You just need to learn more. And remember, you need a teacher, a mentor to guide you in understanding Islam”. Saya anjurkan agar dalam mempelajari Islam perlu guru dan mentor.
Saya juga menasehatkan: “please do more self reflection” (lakukan banyak perenungan).
Saya mengakhiri percakapan itu dengan pertanyaan yang tadinya saya khawatir menanyakannya. Jangan-Jangan tersinggung atau marah karena mengungkit sesuatu yang sensitif.
“Don’t you feel guilty with your action on the night?” (Tidakkah anda merasa bersalah dengan apa yang anda lakukan malam itu?). Maksud saya menyerang polisi yang sedang bertugas dengan pisau.
Dia menganggukkan kepalanya. Tapi saya belum melihat tanda-tanda penyesalan di wajahnya. Tapi tiba-tiba dia menyelah: “I am sorry. I am wrong”.
Saya jabat tangannya dan berkata: “Allah is Most Loving and Most Merciful. He is Off-Forgiving” (Allah itu Maha mencintai dan Maha Penyayang. Dia juga Maha mengampuni dosa-dosa dan kesalahan).
Saya pamit. Tapi berjanji akan kembali mengunjunginya dalam waktu dekat…
Dari insiden ini ada dua hal penting yang menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Satu, betapa tidak adilnya media ketika mengekspos peristiwa kejahatan. Hanya Islam yang selalu dikaitkan dengan pelaku. Dua, betapa bahaya beragama dengan emosi tanpa pemahaman dan ilmu yang cukup.
Semoga Allah menjaga!
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation/Chaplain NYCHHC. [mc]