Oleh : Tatak Ujiyati
NUSANTARAKINI.COM-Kemarin jam 10.00 pagi, Baznas Bazis DKI mengadakan acara Jakarta Cinta Qur’an. Ribuan orang mengaji bareng selama beberapa menit di beberapa ruas jalan Jakarta. Anies mendukung dengan mengajak warga Jakarta beragama Islam ikut serta. Mengapa tidak?
Jakarta kini, di bawah Anies Baswedan, memang mengalami perubahan signifikan. Ruang publik boleh dipakai oleh warga untuk mengekspresikan pendapat dan aktivitas keagamaan.
Bukan hanya ngaji bareng, beberapa hari sebelumnya, umat Kristiani Jakarta menyelenggarakan Festival Telur Paskah di Lapangan Banteng. Boleh.
Natal dua tahun terakhir, beberapa kelompok jamaat gereja menyanyikan Christmas Carrol di beberapa ruas jalan Jakarta. Boleh.
Tahun baru China beberapa waktu lalu, umat Konghucu menyelenggarakan Barongsai di Thamrin 10. Boleh.
Dua tahun terakhir, ummat Hindu India menyelenggarakan perayaan Deepavali di Jakarta. Boleh.
Kebijakan Anies membuka ruang publik untuk ekspresi beragama ini berbeda 180 derajat dari kebijakan gubernur sebelumnya, Ahok. Tahun 2015, Ahok sempat melarang takbir keliling di Jakarta. Ahok meminta kepada masyarakat bahwa takbiran lebih baik dilaksanakan di masjid-masjid serta di kampung wilayahnya masing-masing.
Ahok juga pernah melarang masyarakat untuk mengadakan pengajian akbar di halaman Monumen Nasional. Menurut dia, pengajian seharusnya dilaksanakan di masjid atau tempat luas lainnya, tidak harus di Monas.
Lain Ahok, lain Anies. Alih-alih melarang, Anies justru mendorong warga untuk memanfaatkan ruang ketiga Jakarta — taman, trotoar, dll ruang publik — sebagai tempat interaksi, termasuk menyelenggarakan kegiatan ekspresi keagamaan. Maka Anies merevitalisasi trotoar agar lebar dan nyaman. Taman-taman dibuat lebih banyak. JPO dibuat unik. Stasiun dan halte dibuat terintegrasi. Semuanya didisain agar warga punya lebih banyak alternatif ruang ketiga untuk berinteraksi, termasuk dalam mengekspresikan rasa cinta mereka pada agama.
Kebijakan Anies ini memberi bukti bahwa ekspresi agama di ruang publik tak membawa dampak negatif. Tak mengganggu kegiatan masyarakat. Tak mengganggu ketertiban. Tak menumbuhkan intoleransi. Sebaliknya, ekspresi agama di ruang publik justru dapat membuka ruang interaksi, dialog, kesalingpahaman yang berujung pada toleransi. Yang menjadi fondasi dari persatuan Indonesia.
Keberhasilan itu nyata. Empat tahun berturut-turut, selama Anies memimpin, Jakarta dinilai oleh hasil survei BPS sebagai Provinsi paling demokratis di Indonesia. Tahun 2020 Jakarta meraih penghargaan Harmony Award dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).
Cara Anies bolehkan ekspresi keagamaan ini adalah cara Pancasilais membangun kota. Amat berbeda dengan cara Sekularis yang cenderung menghalau agama dari ruang publik.