NUSANTARAKINI.COM-Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai, kemarahan Presiden Joko Widodo kepada para menterinya beberapa waktu lalu di Bali dinilai sebagai simbol politik ‘cuci tangan’.
Lewat kemarahannya, Arif menilai Jokowi hendak menunjukkan bahwa kinerja buruk di sektor pangan dan realisasi belanja barang serta jasa beberapa waktu terakhir adalah kesalahan para pembantunya. Lewat cara itu, lanjut dia, Jokowi berhasil menjaga tren kepuasan publik terhadap dirinya.
“Jadi, ketika mereka [presiden] marah kepada menteri, itu sebenarnya Jokowi sedang meletakkan bahwa problem-nya ada pada menteri, bukan pada presiden,” ujar Arif dalam diskusi daring, Ahad (27/3/2022).
Kemarahan Jokowi pada di Bali pada Jumat (25/3) lalu itu bukan kali pertama Jokowi terlihat marah di depan publik. Sebelumnya, mantan Wali Kota Solo itu juga pernah melakukan hal serupa di dalam agenda Sidang Kabinet Paripurna pada Juni lalu.
Ekspresi kekesalan Jokowi itu diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden, 18 Juni 2021. Jokowi, dalam sambutannya, menyampaikan kekesalannya terkait situasi terakhir, terutama penanganan pandemi Covid-19.
Apa yang dilakukan Jokowi dinilai Arif sebagai suatu hal yang wajar. Menurutnya, ekspresi kemarahan yang ditunjukkan seorang pemimpin merupakan simbol politik.
Cara itu digunakan untuk menunjukkan sense of crisis, agar mudah dipahami publik. Upaya itu lebih mudah menarik simpati, ketimbang seorang pemimpin, misalnya, menunjukkan citranya lewat menyusun kebijakan publik.
“Politik kita memang menyediakan banyak panggung untuk bisa diakses secara mudah oleh publik sebagai bahasa yang lebih mudah dimengerti. Jadi, kalau Presiden marah, itu, kan, ekspresinya terlihat,” kata dia.
Selain itu, menurut Arif, ekspresi kemarahan Jokowi juga bisa dibaca sebagai tekanan kepada mitra koalisi. Hal itu juga pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu pernah mengingatkan para menterinya agar fokus bekerja untuk pemerintahan, bukan partai politik.
Serupa dengan SBY, Jokowi, ucap Arif, juga pernah melakukan hal serupa. Padahal, ekspresi kemarahan itu, tak sejurus dengan perbaikan kinerja. Sebab pada prinsipnya, perbaikan atau evaluasi kinerja pemerintahan bisa dilakukan dengan kinerja optimal.
“Jadi kemarahan Presiden pada menterinya di hadapan publik, itu sebenarnya memberi kita jebakan politik simbolisme. Seolah-olah marah itu berarti bekerja, dan ini satu pretensi buruk dalam politik nasional,” katanya.
Kini, lanjut Arif, banyak pemimpin di tingkat daerah melakukan hal serupa. Selain Ahok dan Risma yang telah melakukannya lebih dulu, ada pula Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang sempat marah di tengah jalan yang digenangi air saat hujan beberapa waktu lalu.
“Sesuatu yang tidak mengubah keadaan secara esensial, karena banjir mestinya diselesaikan lewat kebijakan,” katanya, dikutip dari cnnindonesia