Nusantarakini.com, New York –Terorisme itu tidak mengenal batas-batas, apakah itu batas ras, etnis, dan juga agama. Terorisme tidak mengenal batas agama, karena memang tidak mengenal agama, bahkan tidak beragama. Karenanya hentikan terorisme, labelisasi terorisme dengan agama apapun. Biarlah teror pada dirinya sendiri.
Bahkan ketika teror dikaitkan dengan agama maka itu adalah self paradoks. Artinya dua hal yang dikaitkan padahal secara esensi bertentangan. Terorisme itu kekerasan, pengrusakan, pembunuhan. Agama itu adalah “Rahmah” (kasih sayang) dan cinta kasih (love), membawa kebaikan, dan menjaga kehidupan. Lalu di mana kaitannya.
Karenanya kita waras dan sederhana saja dalam menyikapi hal-hal yang terjadi dalam dunia kita.
Siapa saja bisa menjadi pelaku terror, dan siapa saja bisa jadi korban teror. Tapi yang pasti pelaku teror tidak didasari oleh ajaran agama. Karena jelas teror adalah antithesis (lawan) dari semua yang diajarkan agama. Bahwa hidup itu sakral, Perdamaian, persaudaraan, peradaban, dan tentunya nilai-nilai moral dan akhlakul karimah itu sendiri.
Tentu tidak kalah pentingnya kita berani menyelami akar dari setiap permasalahan hidup. Jika ada pohon, pasti ada akarnya. Jika ada air, pastinya ada mata air. Jika ada tindakan kekerasan, termasuk teror, pasti ada penyebabnya.
Dan pengalaman dunia mengatakan bahwa terorisme yang terjadi di banyak belahan dunia, satunya disebabkan oleh hilangnya rasa keadilan (sense of justice) dalam kehidupan manusia.
Mari kita jadikan terorisme sebagai musuh bersama kemanusiaan kita. Salah satunya dengan menjadikan ragam ketidak adilan sebagai musuh bersama (shared enemy) kita.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.