Nusantarakini.com, Jakarta –Dinasti Shogun yang dipimpin Tokugawa di Jepang, mulai berkuasa pada pertengahan abad ke-16 dan berakhir tahun 1853. Seiring dengan jatuhnya Dinasti Shogun, kemudian digantikan dengan Dinasti Meiji, yang dikenal dengan RESTORASI MEIJI.
Restorasi Meiji adalah lompatan besar dari negara Jepang, dengan meniru dunia Barat dan merupakan satu-satunya di negara Asia yang melakukan revolusi industri dan membuka diri. Serta belajar dari Perancis sistim pendidikannya, angkatan perangnya meniru Inggris, sedangkan pendidikannya meniru Amerika Serikat (AS).
Segala sesuatunya belajar dan meniru Barat, kecuali demokrasinya yang tidak Ditiru. Karena bangsa Jepang menganggap demokrasi ala Barat adalah budaya dan karakter bangsa. Dan Jepang tetap mempertahankan karakter dan budaya bangsanya sendiri dalam sistem perpolitikannya.
Dan sejarah mencatat, tanpa mengunakan sistem perpolitikan Barat, yaitu demokrasi liberal, Jepang tetap tumbuh menjadi negara besar dan kuat. Sejak sebelum perang dunia pertama, sampai dengan saat ini, walaupun sempat porak poranda akibat kekalahan dalam perang dunia kedua. Namun kembali menjadi kekuatan ekonomi nomor dua (2) di dunia di era tahun 70an, 80an dan sampai saat inipun tetap menjadi kekuatan ekonomi dalam 5 besar dunia global.
Jadi seharusnya bangsa Indonesia tidak perlu meniru demokrasi Barat yang liberal, karena akibat dari sistem perpolitikan demokrasi liberal yang menitikberatkan satu orang satu suara, one man one vote, inilah yang kemudian terjadi perpecahan di masyarakat saat ini.
Politik indentitas, isu Sara, fitnah memfitnah, memutarbalikkan arti demokrasi, pencitraan, demi untuk mendapatkan dukungan suara, peran oligarki konglomerat, yang kemudian adanya mahar, KKN serta membuat terhambatnya pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.
Bahkan rela menjadi pengkhianat bangsa, dengan berkolobarasi dengan pihak asing, demi ambisinya untuk menjadi pemimpin. Ini sangat tidak sehat dan dapat memecah belah bangsa.
Saat ini pemerintah sudah melakukan lompatan besar ke depan, dengan meniru pembangunan di Tiongkok pada era tahun 70an dan 80an.
Kita menyaksikan pembangunan besar-besaran infrastruktur jalan, pelabuhan-pelabuhan internasional dan zona-zona ekonomi khusus, maupun kawasan industri. Payung hukum pun sudah disiapkan dan disahkan Omnibus Law. Insentif pajak pun sudah dikeluarkan melalui Menteri Keuangan tahun 2018. Artinya bangsa Indonesia sudah membuat landasan untuk bangkit menjadi negara maju dan mensejahterakan rakyatnya.
Namun ini harus berkelangsungan untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Dan bagaimana nanti tahun 2024 terjadi pengantian kepemimpinan, padahal pembangunannya harus terus dijalankan, dievaluasi dan disempurnakan.
Oleh karenanya kembali ke jati diri bangsa, Demokrasi Pancasila dan gotong royong, dan tidak perlu meniru negara manapun, tapi sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.
konsep yang sudah dijalankan, dan dijadikan sebagai pedoman atau GBHN, serta kelangsungan dari pembangunan tersebut diserahkan ke Mandataris MPR yaitu Presiden yang dipilih oleh MPR, setiap 5 tahun. Namun siapapun yang terpilih tetap pada jalur menjalankan GBHN.
Sedangkan Presiden mencari pembantunya pada masing-masing bidang, disebut kabinet. Dan mengangkat pembantunya di daerah yaitu gubernur dan seterusnya ke bawah. Sehingga progam pembangunan negara yang digariskan dalam GBHN, dan dijalankan secara tegak lurus dari presiden hingga pejabat yang paling bawah.
Ini adalah mimpi dari para founding father kita, yakni mencapai kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, bukan menjadi negara demokrasi terbesar nomor 2 di dunia. [rj]
*Chandra Suwono, Pemerhati masalah sosial, budaya dan politik, tinggal di Jakarta.