Nusantarakini.com, Jakarta –Hari-hari semenjak Megawati Sukarno Putri menyampaikan pidato politik pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, saya menunggu, berharap ada yang menyoal bagian pidatonya yang ini:
“Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.”
“…Dengan pengakuan tersebut, maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.”
Tetapi saya tidak menemukan satu pun. Yang ramai justeru tanggapan terhadap bagian lain dari pidato itu, yakni:
“Apa yang terjadi di penghujung tahun 2015, harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan.
“…Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan. Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”.
Penggalan pidato ini memang mengandung tuduhan yang serius, dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, saling curiga di antara kelompok masyarakat dan sangat berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Karena itu, Megawati perlu menjelaskan siapa dan kelompok mana yang dimaksudnya. Di samping itu, menamakan “self fulfilling prophecy” –peramal masa depan termasuk kehidupan setelah dunia fana, bagi kelompok yang disebutnya memiliki ideologi tertutup, telah pula melukai perasaan keberagamaan masyarakat terutama Umat Islam. Sebab, dalam Islam, kepercayaan terhadap kehidupan akhirat adalah satu dari enam hal yang wajib diimani. Sejumlah orang pun lantas melaporkan Megawati ke kepolisian atas sangkaan pelecehan-penistaan agama. Tapi sayang, hingga tulisan ini disiapkan, belum ada tanda-tanda Ketua Umum Partai berkuasa itu diperiksa.
Meski sangat serius tetapi, hemat saya, tuduhan itu hanyalah sebuah konsekuensi logis dari ideologi yang diyakini dan diperjuangkan PDIP. Sebagaimana dinyatakan Megawati, ”Pancasila (1 Juni 1945) sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi”. Maka, pokok soal utamanya terletak pada “alat” yang digunakan sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi itu. Kesalahan memilih alat pendeteksi dan tameng proteksiterhadap persoalan bangsa yang merdeka 17 Agustus 1945, akan memunculkan persoalan-persoalan besar yang jauh lebih berbahaya dari sekedar tuduhan-tuduhan di atas. Setidakya ada tiga persoalan utama yang akan muncul.
Pertama. Dengan menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai idelogi pendeteksi dan tameng proteksi terhadap persoalan bangsa –atau dalam bahasa lain Megawati “segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945” — berarti Megawati sedang menarik bangsa ini mundur ke masa sebelum merdeka. Megawati sedang mengembalikan Indonesia ke masa sebelum NKRI ada, tepatmya masa di mana terjadi perdebatan dua ideologi besar di Sidang BPUPKI saat ingin merumuskan filosofische grondslag, landasan falsafah negara Indonesia merdeka.
Pada sidang yang berlangsung 29 Mei hingga 1 Juni 1945 itu, peserta terbelah kepada dua golongan : Nasionalis Islam dan Nasionalis sekuler. Terjadi perdebatan panjang yang menegangkan dengan perbedaan yang sangat tajam. Golongan Islam menghendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam sementara golongan sekuler menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara. Sukarno, yang mengusulkan rumusan Pancasila pada sidang 1 Juni 1945, adalah representasi golongan kebangsan sekuler. Rumusan Sukarno itu bukanlah keputusan sidang, ia baru sebatas usulan sebagaimana usulan dari kalangan Nasionalis Islam.
Untuk menjembatani perbedaan tajam ini, dibentuklah panitia 9 yang bertugas merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan masukan yang diberikan para tokoh (baik kalangan kebangsaan sekuler maupun kalangan Islam). Sembilan tokoh itu, 4 mewakili golongan Kebangsaan sekuler (Sukarno, Muh. Hatta, Achmad Subardja dan Muh. Yamin), 4 mewakili golongan Islam (Ki Bagus Abikusno, Agus Salim, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim) dan 1 mewakili golongan Kristen (Maramis). Mereka berhasil menyusun naskah yang menjadi Pembukaan UUD pada 22 Juni 1945. Di dalamnya termaktub rumusan filosofische grondslag, landasan falsafah negara yg disepakati semua aliran, yakni yang terdapat pada alenia ke-4. Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta”, berisi _gentlemen agreement_ seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta, perbedaan tajam dapat diselesaikan, kompromi tercapai : Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang memisahkan agama dengan negara. Agama mendapat tempat terhormat di Negara Indonesia merdeka.
Jadi, sekali lagi, dengan menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi –dasar bagi pengambilan segala keputusan dan kebijakan politik dalam bernegara, sesungguhnya Megawati sedang membongkar kuburan tua yang berisi persoalan bangsa yang menyeramkan : perdebatan panjang dan tajam soal landasan falsafah negara Indonesia. Megawati dengan PDIP-nya sedang mengurai kain yang telah dipintal oleh the founding fathers,menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali. Indonesia Merdeka bisa bubar !
Kedua. Meski Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit tidak menyebut Pancasila, tetapi bicara Pancasila kaitannya dengan falsafah dasar negara harus merujuk pada Pembukaan UUD 1945 itu. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1, bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, dalam kaitan ini, apa yang dilakukan oleh Megawati dengan PDIP-nya dapat dipandang sebagai pelanggaran konstitusi. PDIP-Megawati dapat dinilai ingin mengganti isi Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila 1 Juni 1945. Artinya, casing tetap Pancasila tapi isinya telah diganti. Ini juga tidak kalah berbahayanya, sebab konflik Ideologi Islam vs sekuler akan tetap membara dan dapat berujung pada bubarnya NKRI. Kalau pun tidak bubar, dengan substansi falsafah yang telah diganti, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda, yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya : casingnyatetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain.
Ketiga. Oleh karena Sukarno merupakan representasi golongan kebangsaan sekuler, sukar dinafikan kalau rumusan Pancasila I Juni 1945 kental dengan semangat kebangsaan sekuler. Dalam konteks itulah kita dapat memahami mengapa Sukarno menempatkan “nasionalisme” pada sila pertama dan Ketuhanan pada sila terakhir. Tentu yang demikian ini kurang dapat mengakomodir kalangan kebangsaan Islam yang memiliki sikap-pandang “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku demi Allah semata”,segalanya untuk dan karena Allah. Karena itu disusunlah rumusan Pancasila yang menempatkan Ketuhanan pada sila pertama dan sila-sila selanjutnya harus pula didasarkan kepada nilai Ketuhanan. Itulah umusan Piagam Jakarta.
Jika kemudian PDIP-Megawati menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai alat “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, sudah pasti banyak hal yang out of frame. Sebab, sifat akomodatif Pancasila Pembukaan UUD 1945 jauh lebih luas dari pada Pancasila 1 Juni 1945. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai upaya memotret permukaan bumi dengan dua kamera yang berbeda. Pancasila Pembukaan UUD 1945 adalah kamera satelit, mampu memotret 34225 km persegi; Pancasila 1 Juni 1945 adalah kamera pesawat terbang, mampu memotret seluas 25 km persegi. Oleh karena itu, hanya sebahagian kecil saja dari gambar yang diperoleh dari satelit yang dapat dipotret oleh kamera pesawat terbang. Artinya, banyak persoalan kehidupan berbangsa yang ada (terakomodir) dalam frame Pancasila Pembukaan UUD 1945 tidak masuk dalam frame Pancasila 1 Juni 1945.
Itulah persoalannya mengapa Megawati melihat kelompok orang yang percaya kepada kehidupan akhirat sebagai peramal masa depan; mereka yang membela kehormatan agamanya, atau memilih pemimpin berdasarkan perintah agamanya sebagai memaksakan kehendak, anti demokrasi dan anti kebhinekaan. Itu semua karena tidak masuk dalam frame “kamera” Pancasila 1 Juni 1945. Padahal, itu semua ada dalam frame Pancasila Pembukaan UUD 1945. Maka, Pancasila 1 Juni 1945 sebgai pendeteksi kehidupan berbangsa akan menjadi sumber keributan yang tidak berujung.
Akhirnya, saya ingin mempertegas, bahwa upaya mengurangi atau meniadakan; mengganti atau mengubah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 akan mengancam eksistensi NKRI. Perbuatan tersebut adalah termasuk tindakan melawan hukum, satu penghianatan terhadap konsensus nasional. Perbuatan ini, sesuai Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 107b, dipidana dengan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Apakah Pidato Megawati telah memenuhi unsur pasal 107b ini, biarlah ahli hukum yang menilainya. Yang jelas, keributan berkenaan dengan Pancasila telah terjadi; dan pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) adalah bukti adanya “Keributan” Pancasila itu.
Wallahu a’lam Bishshawab.
*DR. Ir. Masri Sitanggang, Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI), Ketua Komisi di MUI Kota Medan. [mc]