Nusantarakini.com, Jakarta –Kita menyadari bahwa proses menjadi bangsa Indonesia dari golongan etnis Tionghoa adalah suatu proses yang panjang dan melelahkan. Ini merupakan proses yang berkembang dari keadaan yang buruk pada masa-masa tertentu dan kemudian mengalami perubahan menuju keadaan yang lebih baik.
Karenanya, proses itu bisa disebut proses perkembangan. Dimana ibarat air yang mengalir dari hulu, kemudian melalui berbagai batu dan belokan serta jerami sungai, sampai akhirnya ke hilir. Proses perubahan itu secara lambat atau cepat selalu berkembang dan bergerak dari waktu ke waktu, dan secara terus menerus selalu memperbarui dirinya sendiri secara alamiah.
Diawali pada masa kolonial Belanda era VOC. Mereka memberlakukan artikel 131 IS (indische staatblad) yang menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah tergolong sebagai warga negara kelas dua dan tidak sederajat dengan orang Belanda ataupun golongan Eropa. Dan mereka diperlakukan seperti tempat sampah dimana segala macam kotoran dibuang ke dalamnya.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan antara lain mengeluarkan UU Kewargaan Negara RI tahun 1946, yang berdasarkan ius soli dan sistem pasif. Serta UU Kewargaan Negara RI tahun 1958, yang didahului dengan perjanjian dwi kewargaan negara yang diratifikasi tahun 1957, yang mana saat itu menimbulkan kebingungan dan tidak menentu tentang definisi apa itu warga negara Indonesia. Dan menggolongkan warga keturunan Tionghoa apapun warga negaranya sebagai Non-pribumi.
Sistem diskriminasi dalam Progam Banteng yang lahir pada permulaan tahun 1950, memberikan kemudahan kepada kalangan importir dalam pemberian kredit dan izin import. Tapi ini tidak berlalu untuk Non-pribumi.
Kemudian ada Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959, yang ditujukan kepada orang Tionghoa untuk tidak boleh berdagang kelontong (ratail trade) di daerah pedesaan.
Lalu pada masa era Orde Baru, untuk golongan etnis Tionghoa diwajibkan mengunakan SBKRI, dan khusus di ibu kota Jakarta malah menerapkan K1 yang harus diperlihatkan apabila pindah tempat.
Setelah masuk era reformasi, dengan adanya perubahan geopolitik dunia dan juga dunia sudah berada dalam gelombang globalisasi, akhirnya sampailah pada satu titik berupa keputusan formal yang dianggap paling ideal. Yaitu dikeluarkannya UU kewargaan Negara No. 12 tahun 2006, bahwa anak cucu etnis Tionghoa disamakan seperti orang Indonesia asli. Mereka pun menjadi pribumi. Akhirnya mimpi dan cita-cita orang Tionghoa peranakan sudah menjadi kenyataan.
UU tersebut juga mendapatkan dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau meresmikan museum HAKKA Indonesia, Taman Budaya Tionghoa Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Hakka sendiri dikenal sebagai sub suku Han dari Tiongkok.
Maka secara spesifik bangsa Indonesia suku Tionghoa harus mempunyai tugas dan kewajiban membangun jembatan (buiiding bridge) dengan golongan lainnya, dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan, membina kerukunan serta toleransi beragama.
Juga harus ikut bertanggung jawab dan berpartisipasi untuk memajukan bangsa dalam bentuk karya nyata sesuai kapasitas dan kemampuannya.
Hal nyata yang terlihat saat ini adalah bahwa bangsa kita sedang diserang pandemi virus corona (covid-19) yang berdampak sangat luas dan berimbas pada kehidupan masyarakat luas.
Suku Tionghoa sangat aktif berpartisipasi untuk ikut bertanggung jawab, baik secara organisasi maupun individu .
Misalnya organisasi Inti, PSMTI. Ada juga Buddha Tzu Chi, yang berpartisipasi menyumbangkan alat kesehatan (alkes) maupun sembako. Ada Pak Tommy Winata yang membangun rumah sakit darurat untuk pasien covid-19, serta menyiapkan tempat isolasi.
Kamudian ada Encek Glodok Liues Sungkarisma yang setiap hari menyiapkan ratusan bahkan ribuan bakmi. Ada Baba Jusuf Hamka yang juga menyiapkan nasi bungkus. Dan secara sporadis, tanpa diorganisir hampir setiap hari ada suku Tionghoa yang membagikan sembako dan menyiapkan nasi bungkus. Aksi sosial ini tidak hanya ada di Jakarta tetapi ada di hampir seluruh kota-kota di Indonesia.
Ini adalah bentuk tanggung jawab dan solidaritas suku Tionghoa bangsa Indonesia secara nyata untuk masyarakat yang terdampak pandemi virus corona.
Penulis sendiri sudah ikut memberikan beras dan indomie. Dan saat ini juga sedang berkordinasi dengan pedagang-pedagang di daerah Glodok untuk menyiapkan bantuan sembako bagi mereka yang sangat membutuhkan.
*Chandra Suwono, Pengamat Sosial, Politik dan Budaya Tiongkok, tinggal di Jakarta.