Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam situasi politik rakyat global yang pararel saat ini, tentu Indonesia juga perlu serius memperhatikan situasi berpotensi terseret gelombang protes massa rakyat kembali.
Saat ini, kita melihat gejolak paling belakangan di Colombia yang dipengaruhi gelombang protes merambat di Amerika Latin, mulai Venezuela, Bolivia, Chile, Ekuador karena dipicu persoalan hak asasi manusia, kesenjangan ekstrim sosial ekonomi dan pendekatan politik para politisi yang mengedepankan sikap represif. Akar dari masalah ini adalah korupsi dan tertutupnya kembali keran demokrasi yang menyumbat saluran komunikasi rakyat, sehingga tidak terjadi sirkulasi yang terarah. Termasuk dalam hal demokrasi ekonomi.
Apakah Indonesia bisa menahan situasi yang bersifat pararel secara global ini, ketika Asia, dimana Hongkong, Uyghur, Myanmar, India, Filipina, Afghanistan dan Pakistan bergejolak.
Apakah Indonesia mampu menahan sumbangan 50 persen stabilitas politik, sosial dan ekonomi di Asia Tenggara hingga tidak hanya bersifat temporer? Pada tahun 2020 para analis dan penyelidik politik internasional dan regional memprediksi Asia Tenggara akan terkena goncangan, termasuk Indonesia karena adanya konstraksi perekonomian yang tersumbat di seluruh dunia. Sehingga beban pembiayaan negara, dibebankan pada rakyat. Dan tentu ini mengakibatkan kegelisahan yang berpotensi menggoncang.
Saat ini uang beredar di Indonesia diperkirakan sekitar 6000 triliun, dimana RAPBN 2020 berjumlah 2540,4 Triliun, dimana lebih banyak dibelanjakan untuk kepentingan pembiayaan rutin, pembayaran bunga hutang dan tentu sangat kecil dalam penguatan ekonomi masyarakat.
Jika kita beranalogi kritis untuk sementara perputaran uang 6000 Triliun di Indonesia statis dan tidak bergerak, lalu dibagi rata 250 juta penduduk, maka setiap penduduk mendapatkan angka 25 juta rupiah. Sementara beban bunga hutang yang harus dibayar setiap orang adalah 17 juta. Maka sisanya tinggal 7 juta. Dengan modal 7 juta setiap orang ini, dikumpulkan tinggal 1.750 Triliun. Dan uang beredar ini tidak bergerak karena dunia usaha melambat. Tingkat kredit juga lemah, karena semua tidak pasti.
Apakah dengan angka 1.750 Triliun ini mampu membiayai anggaran rutin pegawai negara, infrastruktur, kebutuhan pangan, transportasi, kesehatan dan pembangunan publik lainnya untuk menutup RAPBN 2540,4 Triliun ? Ada kekurangan anggaran untuk menutup sekitar 790 Triliun. Artinya terjadi defisit anggaram sekitar 790 Triliun. Ada 2 hal untuk menutup masalah ini yang biasanya terjadi. Yaitu dengan berhutang atau menaikkan beban ke rakyat. Pembebanan ke rakyat biasanya menaikkan pajak, BBM, listrik, BPJS dan apa saja.
Namun dengan situasi saat ini tidak mudah membebani rakyat, karena pendapatan rakyat akan berkurang karena melemahnya daya beli. Sementara untuk berhutang, saat ini dunia internasional justru sedang mengoptimalkan penagihan-penagihan. Konflik Amerika Serikat dan Cina tentu meruncingkan krisis ekonomi. Neraca perdagangan Indonesia juga mengalami tekanan defisit karena impor lebih banyak dari ekspor.
Sementara perputaran uang dari pertumbuhan bisnis tidak merata. Dan hanya berputar di tataran pemilik usaha konglomerasi.
Tentu kondisi ini, harus menjadi perhatian Pemerintah. Kita sedang krisis, dahulu Jokowi selalu bilang, dananya ada. Mungkin sekarang, dananya gak ada. Lalu, analis dan penyelidik global memprediksi bahwa keuangan global diperkirakan terjadi stagnan. Karena yang sebenarnya lebih berbahaya adalah bukan perang dagang. Melainkan ada pertarungan antara uang terang dan uang gelap yang saling diawasi dan mengakibatkan macetnya pencairan bahkan pencetakan uang. Tentu ini bisa mengakibatkan penarikan modal besar-besaran dari Indonesia, sehingga terjadi kelangkaan uang.
Inilah yang terjadi sekarang, ketika teknogi, gaya hidup sebagian orang semakin maju, tapi kenyataan yang terjadi adalah krisis global.
Oleh karena itu, kita perlu memikirkan cara pandang baru melalui politik alternatif, tetap dengan mengedepankan stabilitas sosial. Dan ini harus berangkat dari rakyat sendiri pergerakannya. Kita tetap menahan gejolak, karena gejolak juga membuat kita tidak produktif. Tetapi Pemerintah juga harus mengikuti rakyatnya. Paling tidak justru mendukung pergerakan rakyat untuk menekan gelombang pararel. Bagaimana pemerintah mendukungnya adalah memberi ruang partisipasi rakyat seluas-luasnya. Salah satunya adalah mendukung disahkannya UNWCI oleh Majelis Umum PBB. Dan tentu mendukung pergerakan UNWCI Indonesia. Juga mendukung disahkanya Majelis Parlemen Dunia (UNPA). Ini adalah solusi mengatasi gelombang di Indonesia yang mengakibatkan kekacauan nasional. [mc]
*Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI).