Nusantarakini.com, Jakarta –
Zaman sekarang dan besok adalah zaman dimana kekuasaan harus kita hapuskan. Sekarang bukan lagi saatnya kita bicara tentang penguatan kekuasaan, akan tetapi sudah saatnya kita berbicara atas nama hak dan kewajiban. Yaitu hak-hak kita sebagai manusia untuk ditegakkan dalam tatanan kemanusiaan yang adil dan beradab serta kewajiban dalam mempraktekkan aturan-aturan yang mendukung perwujudan prinsip kemanusiaan tersebut yang berarti kemerdekaan. Disinilah hukum harus berdiri atas kemanusiaan dan keadilan.
Oleh karena itu pandangan-pandangan atau halusinasi tentang doktrin kekuasaan sudah saatnya dihapuskan. Dan hal ini berarti menyangkut penghapusan impunitas yang merupakan bagian ajaran imperialisme (penjajahan). Sehingga sebuah sistem yang berdiri sebagai Negara harus diperjuangkan menjadi organisasi yang dimiliki oleh rakyat banyak, bukan lagi milik segelintir orang dengan perusahaan media dan badan pers jaringan mereka yang berkedudukan sebagai markas besar sihir penguasa Negara (politik dan kapital).
Pers di sini menjadi kekuatan penting dalam sebuah tatanan kehidupan dalam dunia yang terbuka saat ini, dimana Negara secara nasional dan internasional menjadi pijakan pers sebagai kekuatan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Pers yang saat ini secara teori (meskipun pada prakteknya melenceng) seringkali dimaknai sebagai alat kontrol sosial, politik dan budaya, namun sudah saatnya kita transformasi kan fungsinya lebih dari sekedar sebagai alat kontrol sosial, politik dan budaya. Melainkan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan kemanusiaan untuk tetap hidupnya sebuah peradaban. Hal ini penting, karena peradaban manusia saat ini sedang di genosida melalui pers kaum imperialis sebagai saluran-saluran informasi nya.
Perjuangan pers di Indonesia telah mengalami beberapa periode jaman, sejak masa revolusi kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi.
Dimana setiap periodenya, pers diatur oleh regulasi yang merupakan produk hukum dari setiap era tersebut. Pada periode revolusi kemerdekaan, hukum kolonial yang mengatur pemberitaan pers saat itu ditentang oleh media-media perlawanan berbentuk koran-koran, selebaran-seleberan perjuangan hingga catatan para revolusioner.
Kemudian ketika masa periode berdirinya Negara Indonesia, setiap periode kekuasaan atau rezim menerbitkan undang-undang pers yang berakar dari konstitusi Negara. Namun tetap sebagai bagian alat kekuasaan.
UU No. 11 tahun 1966, UU No.4/1967, UU No. 21/1982, UU No. 40/1999 adalah produk regulasi pers yang lahir era post revolusi, saat Negara Indonesia ada. Kesemuanya mengakar pada konstitusi UUD 45, pasal 28 baik yang asli maupun yang telah di amandemen.
Masa awal berdiri hingga reformasi, pada prakteknya dunia pers adalah dunia dimana sihir kekuasaan disebarkan ke rakyat, sehingga konflik dan kekerasan menjadi tradisi dalam watak politik kekuasaan kita. Ini tidak terlepas dari dominasinya kantor-kantor media yang dibuat oleh pemilik kapital raksasa, dimana sebagian besar permodalannya diambil dari merampas hak-hak rakyat.
Di era sekarang, dunia informasi dan teknologi telah berkembang. Pers tidak lagi menjadi instrumen formal dari sebuah lembaga, baik itu pemerintah maupun swasta. Akan tetapi telah terjalin sebuah relasi kuat dengan rakyat, baik secara individu maupun sosial. Kantor-kantor media terjalin dengan ruang-ruang media sosial.
Namun kemajuan yang terjadi saat ini, justru dimanfaatkan oleh kelompok imperialis kembali, dimana Negara Indonesia dijadikan kolonisasi oleh sebuah rezim Negara asing yang memiliki perangkat teknologi informasi canggih untuk menghisap kehidupan umat manusia di Indonesia.
Dan fatalnya, ini lahir dari rezim pers yang justru berpihak pada kepentingan kekuasaan, baik politik maupun kapital.
Meskipun begitu, saat ini pers kita dihadapkan pada 2 hal penting untuk sebuah perubahan mendasar. Yaitu Tantangan dan Ancaman.
Inilah tugas kita sebagai kaum di dunia pers, untuk mewujudkan pers sebagai kekuatan kedaulatan rakyat. [mc]
*Yudi Syamhudi Suyuti, Pemimpin Redaksi Pilar Media Grup (Peserta Kongres Pers Indonesia).