Nusantarakini.com, Jakarta –
Yang susah ialah pendidikan tidak memberikan informasi realitas. Kebanyakan normatif. Akibatnya, sulit mempercepat tumbuhnya kesadaran. Maka akibatnya, informasi semacam ini harusnya dapat menjadi pemicu kemarahan penduduk dan memicu investigasi massal kepada perusahaan-perusahaan tertuduh.
Alkisah….
Saya pulang kampung ke Sumatra. Sopir saya orang Riau. Karena dalam perjalanan, obrolan pun terjadi.
Dia mulai dari kisah seorang mantan gubernur yang katanya dipenjara di Jawa. Nyatanya gubernur itu tinggal di sebuah rumah di Riau. Barangkali, sewaktu-waktu jika ada pemeriksaan lapas, barulah dia ke Jawa. Kalau sudah reda dan tidak ribut, dia balik lagi ke Riau.
Mantan gubernur ini dipenjara karena korupsi. Tapi korupsi yang ketahuan hanya soal APBD yang bocor. Padahal mantan gubernur inilah yang cukup banyak kasi lahan bagi perusahaan sawit dan kayu, baik untuk pabrik kertas maupun kayu glondongan.
Sampailah dia pada kisah yang terkait dengan topik cerita ini. Dia bilang semua juga tahu, kebakaran itu bukan tak sengaja. Itu dibakar dengan sengaja.
Dengan dibakar, tapi dikesankan terbakar, maka perusahaan pembuka lahan untung. Pertama dia tak perlu keluar biaya pembakaran. Biasanya dibakar malam hari.
Tahu-tahu, ratusan hektar telah terbakar. Bila yang terbakar fasilitas perusahaan, misalnya perumahan atau truk dan mobil, si perusahaan akan dapat untung dari perusahaan asuransi. Bila yang terbakar hutan lindung, maka dia bertambah konsesi lahannya.
Bukan hanya itu. Yang paling keji ialah kisah berikut.
Dengan terbakarnya lahan dalam skala luas dan meningkat menjadi isu nasional, perusahaan dan pihak pemerintah yang bertanggung jawab dengan urusan kebakaran dan bencana, punya alasan untuk turun setelah sekian lama nganggur. Dan itu….artinya uang. Uang bahan bakar alat kendaraan. Uang untuk petugas. Dan uang kompensasi bagi lahan perusahaan yang terbakar. Maka kuncinya ialah status. Status terbakar secara bencana (force mayor) atau dibakar.
Kalau force mayor, semua pihak bisa ngambil keuntungan. Walaupun penduduk dan alam lingkungan, modar. Bila statusnya dibakar, maka yang untung polisi nakal. Waktunya untuk meras perusahaan. Dan itu duit. Paling cincai-nya, korbankan satu orang atau lebih, dan di bawah kolor, terjadi transaksi kasus.
Jadi anggaplah force mayor alias terbakar oleh rumput yang bergoyang dan meranggas, si perusahaan biasanya punya modus begini: bakar sawitnya seratus hektar, tapi jangan lupa. Bakar hutan 1000 hektar. Maka perusahaan untung besar. Nanti yang padami api, tidak perlu perusahaan. Karena mahal. Apalagi jika mengerahkan helikopter dan pesawat pembasmi api.
Maka yang biayai adalah negara dan yang bergerak adalah pesawat dan helikopter milik negara. Pilot dan petugas lapangannya pun dari negara.
Tau-tau, lahan si perusahaan sudah tambah lagi ribuan hektar yang siap tanam. Enak, bukan?
Terus negara dapat apa dari perusahaan? Dapat komisaris boleh. Dapat kolor ijo juga boleh. Ini negara, negara mereka, kok. Bukan negaramu. Kamu mah cuma numpang dan batuk-batuk dari asap pembakaran.
Soal benar tidaknya kisah ini, cek aja ke lapangan. Kenapa hutan yang terbakar, tiba-tiba jadi sawit. Kalau mau benar, hutan yang terbakar, harusnya hijau lagi dengan hutan belukar. Bukan sawit, kan. (red)