Nusantarakini.com, Jakarta –
Tadi saya mendengar langsung laporan pengurus masjid di Bekasi. Dia umumkan saldo: Rp71 juta.
Itu baru satu masjid. Belum masjid yang lain. Di kota-kota lain. Di seluruh penjuru tanah air.
Kata JK ada 800 ribu mesjid di Indonesia. Tapi menurut saya lebih. Karena setiap hari ada saja mesjid yang berdiri. Taruhlah jika 800.000 masjid rata-rata punya saldo Rp 5 juta, ngendap, beku, maka terdapat Rp4 triliun duit ngendap dari umat Islam. Riel nih. Murni dari umat oleh umat dan entah untuk umat.
Saldo masjid ini sama nasibnya dengan saldo umat di Haji & Umroh. Ingat ya, ini seperti Oil & Gas.
Akhirnya, yang pesta dengan saldo masjid ini bukan orang dan subjek yang tepat. Lihatlah sekarang, saldo Haji & Umroh ini, diambil pula oleh pemerintah. Padahal dia tidak berhak, tuh. Yang bilang berhak hanya Kyai Ma’ruf. Tapi itu urusannya lah dengan yang punya dana dan Tuhannya. Kita cukup bilang, pemerintah tidak berhak pake itu dana. Pemerintah hanya bertugas, menjaganya dan menjaminnya saja. Kecuali pemerintah minta izin satu per satu ke calon haji maupun yang sudah haji.
Soal Ekonomi Haji ini sudah saya tulis dulu di Republika.
Baiklah kita kembali ke urusan Dana Masjid yang triliun ini. Sejauh ini belum ada yang punya sistem bagaimana mengoptimalkan dana umat ini agar dapat menolong umat Islam missquen-missquen.
Untuk perkara inilah saya akan memberikan penyuluhan ke Palembang. Kebetulan ada karib saya yang menyambut pentingnya urusan ini.
Saya punya pikiran-tersistem, bagaimana orang-orang miskin di sekitar masjid harus bisa dijawab dan dientaskan oleh Masjid. Ke siapa lagi orang-orang miskin itu berharap kalau bukan ke masjid. Yang secara undang-undang harusnya paling bertanggung jawab mengentaskan kemiskinan, sikap mereka hanya setengah hati. Wajar pula, sebab negara cuma bertugas secara konstitusional “memelihara fakir miskin dan anak terlantar”. Antum tahu dong artinya memelihara. Lainlah dengan mengentaskan atau menghapuskan. Tentu ini seloroh tapi sebetulnya kita serius.
Coba sebutkan, adakah program negara yang super serius menghapus kemiskinan setelah 70 tahun Indonesia merdeka? Bahkan kita banyak temui, ada warga dari generasi pertama hingga generasi keempat, tetap mewarisi kemiskinan. Generasi pertama ikut angkat bedil mempertahankan kemerdekaan. Habis perang jadi rakyat biasa. Hidup miskin. Generasi kedua lahir, miskin terus. Generasi ketiga di Orde Baru, miskin juga. Generasi keempat di Orde Milenial, miskin juga.
Bila buyutnya dulu masih punya sebidang pekarangan, di kakeknya pekarangan itu sudah dijual untuk dibagi-bagi. Lalu di cucunya, rumah pun dijual. Di cicitnya, menyingkir ke pinggiran kota dan tanpa rumah milik sendiri. Itulah realitas kemiskinan kronis yang sebenarnya tidak dapat ditoleransi.
Jadi ke Palembang, mencoba menginisiasi Masjid sebagai katalisator pengentasan kemiskinan. Doakan kami, ya semoga berhasil.
~ Kyai Embun Pagi