Nusantarakini.com, Jakarta –
Masalah pokok bagi Partai Bulan Bintang (PBB) sekarang ialah bagaimana partai warisan Masyumi ini dapat kembali berkiprah di parlemen. Karena sebenarnya, di situlah habibat partai yang didirikan pada 17 Juli 1998 ini.
Sudah terbukti, ketika PBB berada di senayan, pengaruh dan kepemimpinannya terasa signifikan, walaupun perolehan suaranya tidak dominan. Hal itu terjadi, karena PBB dididik secara politik untuk mewarisi spirit dan metode perjuangan Masyumi yang terkenal cerdas dan militan.
Sebagaimana diketahui, Masyumi merupakan partai penguasa berkali-kali di masa demokrasi liberal. Kekuatan partai Masyumi ialah pada ide dan metodenya yang moderat dan progresif. Masyumi bukanlah partai tanpa ideologi. Dan juga bukan partai pragmatis yang cenderung ikut arus. Akibatnya, Masyumi senantiasa leading dalam pertarungan gagasan di parlemen.
Masyumilah yang membuat Republik Indonesia bergeser dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan yang hingga hari ini dikenang sebagai salah satu sumbangsih yang paling berharga bagi Indonesia. Efek dari gagasan tersebut–dikenal dengan mosi integral Natsir–membawa Ketua Umum Masyumi tersebut menjadi Perdana Menteri.
Sumbangsih berikutnya ialah pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955 oleh Burhanuddin Harahap, salah seorang pemimpin Masyumi yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Kehadiran Masyumi yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang dan maju telah menggoreskan implikasi historis bagi pertumbuhan Indonesia sebagai suatu bangsa.
Maka karena itu, absennya partai yang mewarisi masyumi di parlemen sebenarnya merupakan kerugian besar bagi Indonesia. Dan membawa kembali PBB ke senayan di tahun 2019 ini merupakan keuntungan besar bagi negara dengan karakter moderat seperti Indonesia. Mengganjal PBB kembali ke parlemen, tidak saja umat Islam yang dirugikan oleh sepinya perjuangan gagasan di parlemen seperti yang sudah nyata sepuluh tahun belakangan ini, tapi juga kerugian bagi pembangunan karakter politik nasional kita.
Masalahnya sekarang ada sebagian yang masih meragukan taktik yang diambil oleh Yusril Ihza Mahendra (YIM) selaku Ketua Umum PBB untuk membawa kembali PBB ke senayan. Padahal agaknya yang memahami beban PBB untuk eksis kembali di parlemen, hanya YIM yang lebih mengetahui luar-dalamnya.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa teknis dan seluk-beluk pemilu telah digunakan menjadi batu sandungan bagi PBB untuk gagal lolos ke senayan. Untuk faktor ini, penting untuk mengawal dan memastikannya agar aman. Berkaitan dengan hal tersebut, interaksi yang dekat dengan pemerintah yang berkuasa, penting untuk memastikan agar pemilu berjalan fair dan sportif. Dengan memastikan pemilu berjalan fair dan sportif saja, sudah akan memberi jalan bagi PBB untuk kembali ke senayan. Dan posisi YIM sebagai pengacara capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin, jelas menguntungkan bagi PBB dan caleg-calegnya untuk membereskan hambatan undercover bagi berlangsungnya pemilu yang fair dan sportif, mengingat tebalnya hubungan kekuasaan pemerintah dan penyelenggaraan pemilu.
Tinggal sekarang yang mendesak ialah bagaimana para caleg dan pengurus PBB di semua tingkatan, semuanya solid dan percaya penuh serta loyal kepada Ketua Umum. Sebab justru di situlah salah satu kunci agar PBB dapat dengan mulus kembali ke parlemen.
Hendaknya diingat, kadangkala dalam politik harus lihai dan cerdik dalam menjinakkan kekuasaan yang tidak bersahabat, bilamana berhadap-hadapan dikalkulasi tidak menguntungkan. Bukankah politik itu adalah seni memilih secara rasional guna memenangkan kepentingan melalui kalkulasi yang matang dan tepat. Karena itu, politik bersifat subjektif, relatif, dan fleksibel. Dan yakinlah, YIM berpolitik demi PBB agar lolos dari rintangan.
~ Jurhum Lantong, Wakil Ketua Umum PBB