Nusantarakini.com, Jakarta –
Brett M. Kavanaugh sedang diuji oleh Komisi Hukum di Senat dan DPR Amerikat Serikat untuk menduduki jabatan Hakim Agung. Brett diusulkan oleh Presiden Trump untuk menggantikan seorang Hakim Agung yang tutup usia. Pencalonan Brett terusik oleh pernyataan seorang perempuan, Christine B. Ford, yang mengaku telah diserang secara seksual oleh Brett, ketika Brett masih berusia 17 tahun. Tentu surat pernyataan Christine itu dimaksud untuk menggagalkan pencalonan Brett sebagai Hakim Agung.
Di negara-negara maju, dimana hukum dijunjung tinggi, seleksi terhadap Calon Pejabat Tinggi diselenggarakan secara ketat, dimana anggota masyarakat pun diikutkan dalam proses tersebut.
Di Indonesia tidak begitu. Apalagi kalau Calon Pejabat bersangkutan dicalonkan oleh sesuatu partai politik. Sama sekali pendapat masyarakat tidak memeroleh peluang. Untuk jabatan-jabatan tertentu menang ada fit & proper test, yaitu dengan mengajukan calon lebih dari satu, semisal tiga. Sehingga, kalau satu terpilih, menjadi tidak terlihat apa yang menjadi sebab yang lain tertolak. Belum lagi ikut bicara soal uang, bukan rahasia lagi!
Mestinya, Calon Jaksa Agung dan Calon Kapolri juga harus diuji oleh DPR dengan melibatkan masyarakat. Entah bagaimana mereka selalu menghamba kepada Presiden yang mencalonkannya.
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai juga hampir tanpa seleksi. Pernah dicoba lewat Konvensi Partai, sebagai pra-pemilihan, tetapi gagal. Si Pemenang Konvensi ternyata bukan menjadi Capres.
Berdasarkan UUD 1945 Asli, Pasangan Calon Ptesiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Akan tetapi Pak Harto tidak dipilih di dalam sidang MPR, melainkan tiap anggota MPR menandatangani persetujuan Pak Harto sebagai calon tunggal. Baru sesudah itu dilanjutkan dengan Sidang MPR untuk pengesahan tandatangan-tandatangan tersebut. Cara itu dilakukan sampai 7 (tujuh) kali periode. Dan Pak Harto sebagai Calon Tunggal selalu menang. Pak Harto sendiri, sesudah terpilih, lalu memilih Wakil Presidennya.
Pemilihan Presiden pada 1999 dilakukan di dalam Sidang MPR dengan dua Calon, yaitu Gus Dur dan Megawati. Ada Habibie sebagai Presiden petahana, tapi mengundurkan diri sebagai Calon. Gus Dur dinyatakan menang. Dalam pemilihan berikutnya untuk Wakil Presiden, Megawati menang mengalahkan calon-calon Wapres lain. Dalam Pilpres 1999 ini yang patut dicatat, calon-calon yang diusulkan bukan Pasangan-pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keduanya terpisah. Megawati naik menjadi Presiden sesudah Gus Dur terkena impeachment di Sidang MPR.
Jadi, sekali lagi, Pilpres di Indonesia hampir-hampir bebas dari seleksi. Terutama sesudah Amandemen UUD, maka Pasangan-pasangan Capres/Cawapres yang diusulkan oleh Partai-partai Politik, segera dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di AS, beberapa pasangan Calon dari sesuatu Partai (Republik dan Demokrat) diharuskan memenangkan pemilihan daerah berturut-turut lebih dahulu untuk beberapa Negara Bagian. Pasangan yang mendapat suara kecil biasanya langsung mundur. Kalau tersisa dua Pasangan dalam Partai yang sama, dipilih salah satu dalam Konvensi Partai. Sesudah itu baru dilakukan Pemilihan langsung oleh rakyat.
Pemilihan Presiden di Indonesia mengundang pro dan kontra, karena sistim pemilihannya selain kacau, juga tidak memasukkan unsur seleksi yang ketat. Sehingga, selalu terpilih Rezim-rezim Gombal. Oleh sebab itu, setiap kali selalu berkembang pemikiran untuk menjatuhkan Pasangan Presiden/Wakil Presiden terpilih, di tengah jalan, karena mereka ternyata tidak sesuai dengan harapan rakyat, semisal dianggap berkhianat atau mencederai rakyat. Hal ini terjadi pada masa Soeharto (1998), yang terpilih pada bulan Maret, lalu terpaksa tergusur pada bulan Mei.
Hal yang sama sebenarnya sudah terjadi pada Bung Karno yang dicabut mandatnya oleh MPR pada Maret 1967. Hal yang sama terjadi pada Gus Dur pada 2001. Gus Dur dipecat MPR atas prakarsa Ketua MPR Amien Rais dengan alasan Gus Dur mau membubarkan DPR. Alasan tersebut tanpa dibuktikan terlebih dulu, seperti umumnya suatu impeachment terhadap Presiden.
Dewasa ini sudah timbul ketidakpercayaan masyarakat luas terhadap Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Sebagian masyarakat ingin menjatuhkan Pasangan Joko-Jeka tersebut, sekalipun akan dilangsungkan Pilpres pada 2019. Selain tidak bisa menunggu lebih lama atas terjadinya berbagai kerusakan yang ditimbulkan Joko-Jeka, masyarakat pun sangsi atas Kejujuran dan Keadilan dalam Pilpres 2019, serta sangsi terhadap kemampuan Pasangan Bowo-Sandi dalam menangani berbagai kerusakan yang terjadi di Negeri ini.
Joko dan Bowo pernah bertarung pada 2014, tapi oleh indikasi kuat adanya Ketidakjujuran dan Ketidakadilan dalam penghitungan suara, serta sangat sarat dengan campurtangan Asing, Aseng serta RRC, Bowo dikalahkan. Sekarang sudah sangat terbukti, bahwa di belakang Joko adalah Asing, Aseng dan RRC. Kerusakan yang dihasilkan oleh Joko memang luar biasa dalam 70 tahun lebih Indonesia merdeka dan dalam waktu singkat. Karena itu tidak heran, dari Sabang hingga Merauke rakyat menolak Joko. Sekalipun begitu, permainan busuk dalam pengumpulan dan penghitungan suara masih saja mungkin terjadi, antara lain, dengan munculnya jutaan E-KTP dan jutaan TKA RRC, tujuannya untuk memenangkan Joko.
Selain itu, orang masih saja was-was, kalau-kalau Bowo-Sandi tidak beda dari Rezim-rezim sebelumnya. Bowo yang mantan tentara tidak jelas kemampuan politik dan lain-lainnya. Dan Sandi yang ternyata adalah pengusaha kaya raya yang tidak terlepas dari kaitannya dengan kapitalis dan konglomerat Cina, serta Amerika Serikat–sesuai dengan pengakuannya sendiri. Selain masih greenhorn, muda, juga belum pernah terjun dalam politik, kecuali terpilih menjadi Wagub DKI. Jabatan beberapa bulan itu pun ditinggalkannya sebelum terbukti kebolehannya.
Jadi, masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga, yang pro-Joko, pro-Bowo dan pro-penjatuhan Joko sebelum Pilpres 2019, dengan keyakinan akan muncul kepemimpinan yang lebih berkualitas. [mc]
*Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis Senior, Mantan Politisi Era Orde Baru.