Nusantarakini.com, Cimahi –
Kata pepatah, orang yang sedang jatuh “cintrong” gula merah pun serasa coklat, tahi unta terasa kurma. Nalar disimpan pada urutan paling belakang untuk tidak menyatakan akal dikesampingkan. Rasanya tidak ada langit di atas langit. Tidak ada yang melebihi kecantikan neng atau kegantengan abang, dunia ini milik berdua, yang lain cuma numpang, hanya dia pecinta dan yang dicintai.
Cinta memang fitrah, ia adalah anugerah sang maha Pencipta, potensi sekaligus ujian bagi manusia. Allah swt perintahkan untuk memanage cinta agar pas dan teratur supaya terjadi harmoni kehidupan yang diridlai-Nya. Gunakan akal dan perhatikan maklumat/pengetahuan sebelumnya agar tidak terbalik menjadi cinta terlarang, mencintai yang seharusnya dibenci atau membenci yang seharusnya dicintai.
Masalah berikutnya adalah aplikasi cinta yang keliru. Itulah jadinya jika cinta tanpa pemahaman, cinta tanpa ilmu, syahwat merajalela, nestapa yang didapat namun sudah terlambat.
Wabah cinta demokrasi sudah sangat membahana ke seantero buana. Bak kembang gula dalam perbincangan siapa saja. Sedikit-sedikit bicara, “kita mesti demokratis, kita hidup dalam alam demokrasi, saya mendidik keluarga sangat demokratis, kita berupaya memciptakan masyarakat yang demokratis, karena demokrasi Islam semakin berkembang dan sebagainya.” Demokrasi seperti “bidadari” yang turun dari kahayangan, tiada cacat di matanya.
Sejatinya demokrasi adalah racun yang dikemas dalam kaleng SKM (susu kental manis). Satu tetes saja yang dihirup oleh umat bisa fatal dan mematikan. Bagaimana tidak, ia adalah sistem kehidupan yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum. Dalam Islam tegas menyatakan bahwa sumber hukum adalah Allah sang pencipta kita yang telah menurunkan risalahnya yakni al Qur’an dan hadits Nabi.
Manusialah yang menerapkan, menjalankan, menyampaikan hukum hukum dari Allah swt, bukan sebaliknya membuat hukum sendiri dan dijalankan sendiri dalam kehidupan.
Satu hal yang patut dicermati, kaitannya dengan dakwah Islam adalah pernyataan sebagian orang yang dengan yakinnya menyatakan bahwa karena demokrasi, Islam semakin berkembang. Berterimakasihlah pada demokrasi, jangan kalian cela demokrasi, karena demokrasilah yang membuat kalian “hidup”. Walaupun masih bisa diperdebatkan bahwa nyatanya di Inggris yang menganut sistem kerajaan, dakwah Islam berkembang lebih pesat dibanding di Amerika sebagai negara kampiun demokrasi. Celakanya sebagaian umat telah menjadikan demokrasi sebagai “tuhan”.
Sistem apapun seperti demokrasi atau absolutis dalam bentuk negara apapun seperti republik, imperium, monarchi atau teokrasi adalah sistem dan bentuk negara yang sama sekali tidak “dikehendaki” dalam Islam, karena hanya satu sistem kehidupan yang dikehendaki yakni syariah islam dan bentuk negara yang dicontohkan yakni daulah khilafah.
Sejak kekuasaan negara umat islam berganti ke tangan para khalifa karena Rasulullah wafat, dakwah Islam berkembang lebih pesat lagi hampir meliputi 2/3 dunia, melalui institusi negara yang mengemban dakwah dan jihad serta kesungguhan umat Islam sendiri dalam menjalankan dakwah dengan penuh semangat dan pengorbanan harta, keluarga, jiwa dan raga mereka.
Apakah saat itu negeri-negeri yang didakwahi itu menganut demokrasi? Sungguh masyarakat mereka dipimpin oleh kepemimpinan imperium dan monarchi.
Dakwah Islam saat ini berkembang karena kesungguhan dan keikhlasan serta pengorbanan jiwa dan harta para pengemban dakwah Islam.
Patutkah berterimakasih pada demokrasi?
Cimahi, 30/8/2018.
*Abu Selma, Pengamat Sosial Politik. [mc]