Nusantarakini.com, Jakarta –
Belakangan, orang makin keras dan gendeng saja dalam berebut kekuasaan. Apalagi difasilitasi pula oleh sistem demokrasi semu, tapi liberal abis. Ada kaos 2019 ganti presiden segalalah. Ada junjungan sekelompok orang yang pakai stunmantlah. Semua hanya untuk kuasa. Semua hanya kedok. Tapi rakyat dibuat layaknya adu kambing. Modar. Walaupun yang di atas tetap masih kopdar.
Well, kuasa macam apa sebenarnya yang diburu dan berlaku di Indonesia? Paling orang cuma berkuasa secara semu. Persis seperti demokrasinya.
Kuasa yang riil adalah kuasa penjajahan. Ya, penjajahan. Apa buktinya, itu pasti pertanyaan Anda, kan?
Oke, ini buktinya. Satu, Indonesia masih hidup ditopang oleh ekspor industri ekstraktif. Itu pun pemilik usahanya, kebanyakan bangsa asing. Lalu ekspor hasil alam yang masih mentah dan baku. Nanti setelah diolah di negara imperialis, dikirim lagi ke sini. Dibeli dengan harga berlipat-lipat. Modal dan keuntungan yang diperoleh oleh para eksplorator dan eksploitator, bukannya dibelanjakan di Indonesia. Malahan disimpan di Virgin Island, Cayman Island, Bermuda, dan tempat surga lainnya, yang bebas pajak.
Dua, masih mengandalkan jual tenaga kasar. Semi perbudakan. TKW-TKI tidak pernah berhenti. Malahan ada badannya. BNP2TKI. Kepalanya, orang NU.
Tiga, stabilitas dan sistem politiknya kacau balau dan mahal. Karena ini berguna, untuk mengamankan proses penjajahan. Mengalihkan perhatian dan tenaga rakyat, agar disita oleh kekacauan dan instabilitas.
Empat, sistem pendidikan sepenuhnya tidak berkarakter kuat berdasar kebutuhan rakyat. Karena pendidikan hanya ditujukan untuk melestarikan penjajahan. Orang hanya digodok jadi “bebek”, robot dan “kuda binal” atau “anjing tamak yang penghianat”. Pendeknya jadi konsumen saja.
Lima, para politikus dan pemimpin negaranya tak punya kepribadian yang kuat dan merdeka. Mereka tak ubahnya hanya boneka dan jongos. Sebab kalau jadi pribadi yang beradab dan merdeka, bagaimana nasib penjajahan lestari?
Enam, teknologi mandeg dan tidak berkembang pesat sesuai kebutuhan praktis rakyat. Sebab, teknologi adalah instrumen penjajahan bagi bangsa yang baru merdeka, agar tetap tergantung pada penjajahnya.
Tujuh, impor lebih banyak ketimbang ekspor hasil produksi dalam negeri. Malahan yang harusnya tidak impor seperti garam dan beras, direkayasa menjadi impor. Sebab, pada hakikatnya, negara yang tidak merdeka, hanya dijadikan sebagai pasar bagi barang-barang dan produk negara-negara penjajah.
Delapan, pembangunan infrastruktur dominan menggantungkan diri pada asing, baik teknologinya, modalnya, bahkan tenaga kerjanya. Nah, di zaman ini, lebih kentara lagi. Cina telah dengan terang-terangan menjajah lewat proyek infrastruktur yang ditawarkan oleh pemerintahan semu Indonesia.
Sembilan, SDM-SDM bermutu tinggi milik nasional, seperti ilmuwan, pakar, profesional, dibiarkan mangkrak dan mubazzir tanpa penyaluran dan pemberdayaan. Sebab, jika tenaga berkualitas ini hidup dan berkembang di negaranya, penjajahan bisa terancam angkat kaki.
Sepuluh, visi nasional dan strategi kebudayaan kosong. Warga negara dibiarkan hidup tanpa visi bersama, dan hanya sibuk mencari aman dan makan. Sebab, bila negara bergerak teratur, terpimpin dan sistematis ke arah masa depan, bagaimana nanti nasib penjajahan yang bercokol dalam dan kuat di Indonesia.
Sebelas, senantiasa terdapat segolongan warga yang dominan secara ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tapi secara politik bergantung pada sistem korup dan kekuatan penjajahan. Golongan ini diperlukan penjajahan guna mengekalkan penjajahan, sekaligus mendemarkasi dan menghalangi rakyat pribumi naik secara kelas dalam kekuasaan ekonomi. Sebab, aslinya penjajahan musuhnya ialah penduduk setempat.
Dua belas, hukum yang berlaku tidak mencerminkan kebutuhan langsung dan praktis rakyat pada umumnya. Hukum lebih melayani pihak-pihak yang berkuasa secara ekonomi. Hukum digelar untuk mengubah cara hidup mereka yang dijajah agar selaras dengan harapan si penjajah.
Selusin fakta itu saja, rasanya lengkap nyata di Indonesia. Selusin ini merupakan hal yang terjadi di Filipina ketika bangsa itu dijajah Amerika pada 1898 – Sekarang.
Jangan-jangan orang Indonesia banyak yang mengigau pada setiap 17 Agustus bahwa mereka merasa telah merdeka, padahal sejatinya mangkrak dan tersekap sebagai bangsa dijajah hingga sekarang.
~ Syahrul E Dasopang, Suara Arus Bawah Islam (SURABI)