Nusantarakini.com, Jakarta –
Pada 16 Agustus 2018, acara kenegaraan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD), Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Kenegaraan. Jokowi menyampaikan pencapaian Pemerintah dan kinerja lembaga tinggi negara lain.
Di dalam pidato kenegaraan itu, Presiden Jokowi berkata, mulai tahun pertama pemerintahan, kita membangun fondasi yang kokoh untuk menuju Indonesia yang lebih maju. Karena itu, Pemerintah fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur serta peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa.
Percepatan pembangunan infrastruktur bukan hanya dimaksud untuk mengejar ketertinggalan kita dalam pembangunan infrastruktur dibanding dengan negara lain, melainkan juga menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru yang mampu memberikan nilai tambah bagi daerah-daerah di seluruh penjuru tanah air.
Itulah sebabnya infrastruktur tidak hanya dibangun di Jawa, tapi di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara, sampai Tanah Papua karena sebagai bangsa yang majemuk, kita ingin tumbuh bersama, sejahtera bersama, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Ada dua pertanyaan pokok dari pidato Jokowi terkait pembangunan infrastruktur ini.
Pertama, apakah Rezim Jokowi ini berhasil atau gagal membangun infrastruktur sejak tahun pertama berkuasa? Jawabannya: MASIH GAGAL !
Kedua, apakah pembangunan infrastruktur tidak hanya dibangun di Jawa, tapi di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara, sampai Tanah Papua? Jawabannya: lebih banyak membangun infrastruktur di Pulau Jawa ! Masih Jawa Sentris.
Pembangunan infrastruktur masih gagal:
1. Pembangunan infrastruktur “Tol Laut ” bidang kemaritiman masih buruk dan gagal mencapai target 24 lokasi pelabuhan laut sesuai RPJMN. Sangat tidak mungkin bisa mengejar target hanya 1 tahun lagi. Juga target pengurangan atau penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok di daerah-daerah terpencil Timur Indonesia dan Indonesia Barat belum dapat dibuktikan Pemerintah. Tahun kedua, ketiga dan keempat, isu Tol Laut sudah menghilang, diganti isu Tol Darat !
2. Pembangunan infrastruktur “perumahan rakyat” tergolong buruk, gagal dan tidak mampu mencapai target sejuta unit rumah per tahun.
Per 22 Desember 2015, realisasi pembangunan rumah MBR hanya 667.668 unit, terdiri dari 353.120 unit baru, 76.755 unit renovasi rumah. Rumah Non MBR tercapai 237.813 unit. Total realisasi meleset jauh dari target utk MBR 603.516 unit dan 396.484 unit untuk Non MBR. Pada tahun kedua (2016), telah merealisasikan program sejuta rumah dengan capaian 805.169 unit. Artinya, gagal mencapai target sejuta rumah. Pada tahun ketiga, hingga awal Desember 2017, realisasi program sejuta rumah 765.120 unit, didominasi 619.868 unit utk MBR (81%) dan 145.252 unit utk Non MBR (19%).
Capaian 2015 hanya 699.770 unit; 2016 sebanyak 805.169 unit; 2017 sebanyak 906.169 unit. Tetapi, semua angka capaian masih di bawah target (1 juta unit per tahun).
Terakhir Agustus 2018, baru 583.000 unit atau sekitar 60 % terbangun. Waktu tinggal 4 bulan lagi, mustahil target 2018 tercapai!
3. Pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) seperti Waduk, Jaringan Irigasi, Bendungan dll masih buruk dan belum mencapai target capaian. Sudah 4 tahun masih belum bisa membuktikan prestasi meraih target capaian baik waduk, jaringan irigasi maupun bendungan. Sekalipun secara vokal, bisa bilang optimis, akan berhasil, tetapi 4 tahun ini membuat kita percaya, takkan sukses dengan proyek-proyek infrastuktur SDA hingga berakhir 2019.
4. Pembangunan infrastruktur “jalan dan jembatan” nasional termasuk Jalan Tol masih belum baik dan gagal mencapai target. Sementara finalisasi pembangunan Jalan Tol selama ini adalah kelanjutan dari pembangunan era SBY. Di Sumatera (rencana membangun 2.181 km) misalnya tidak ada Jalan Tol telah selesai tahap konstruksi (operasional) hasil prakarsa era Jokowi. Hanya baru tahap kegiatan pra-konstruksi. Kalaupun ada baru sekitar 25 km di Lampung. Sisa waktu Jokowi berkuasa hanya 1 tahun lagi takkan mungkin berhasil mencapai target. Jika dibandingkan era SBY periode kedua, jelas kondisi kinerja Jokowi masih jauh di bawah SBY di bidang jalan dan jembatan.
5. Pembangunan infrastruktur “perkeretaapian” lebih buruk lagi. Sudah 4 tahun berkuasa, belum mampu merealisasikan target capaian, terutama di luar Pulau Jawa. Satu parameter pembanding, era Jokowi sudah lebih 4 tahun baru membangun 388 Km jalur KA, sementara era SBY untuk 5 tahun mencapai 922 KM. Jokowi di bidang perkeretaapian lebih buruk dan masih gagal mencapai target. Kalaupun ada finalisasi pembangunan jalur KA (operasional), akhirnya bukan di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sulawesi atau Sumatera, tetapi masih saja di Pulau Jawa seperti LRT. Di Palembang memang telah beroperasi LRT tetapi hal itu untuk kepentingan acara Asian Games di Kota itu.
6. Pembangunan infrastruktur “perhubungan udara” seperti Bandara (Bandar Udara) juga masih buruk dan gagal mencapai target. Era SBY jauh lebih mampu membangun Bandara. Ada 28 Bandara dibangun era SBY. Target pembangunan Bandara era Jokowi selama 5 tahun hanya 15 Bandara (sekitar 50% target era SBY). Meskipun lebih sedikit target era Jokowi, masih terseok-seok untuk merealisasikan target tersebut. SBY jauh lebih bagus ketimbang Jokowi.
7. Pembangunan infrastruktur “perhubungan laut” seperti pelabuhan laut internasional dan nasional belum sukses mencapai target. Untuk rencana pembangunan infrastruktur laut tahun 2015-2019, Rezim Jokowi menargetkan pembangunan 306 lokasi pelabuhan. Pada 2017, Rezim Jokowi baru mampu membangun 37 lokasi pelabuhan baru. Sementara, jangka 4 (empat) tahun ini telah membangun 105 lokasi pelabuhan. Maknanya, Pemerintah selama 4 tahun baru mampu merealisasikan target 306 lokasi pelabuhan atau hanya sekitar 50%. Ke depan, waktu tinggal 1 tahun lagi, masih 50% lokasi pelabuhan harus terbangun. Sangat mustahil dapat dipenuhi.
Selanjutnya, Jokowi dalam NAWACITA butir ke tiga menyatakan, akan membangun Indonesia dari pinggiran selama ini tertinggal dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pembangunan tidak hanya berorientasi ke wilayah Jawa atau Jawa-sentris, tapi juga Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara timur, dan lainnya.
Di Sumatera telah direncanakan, pembangunan Jalan Tol sepanjang total 2.818 km bakal menghubungkan kota-kota di Sumatra dari Lampung hingga Aceh. Jokowi juga mempromosikan, akan bangun Kereta Api di luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Selelah 4 tahun Rezim Jokowi berkuasa, faktanya? Untuk Papua, ada baiknya baca tulisan Natalius Pigai, beredar di Medsos. Pigai menilai, Jokowi hanya membangun 1 ruas jalan Wamena-Nduga, Stadion Batu dan jembatan Holtekam dari dana kredit Pemda, uang keringat rakyat Papua. Era SBY terbangun infrastruktur 7 ruas jalan prioritas dan 4 ruas jalan strategis tanpa pencitraan.
Untuk Sulawesi, pembangunan Kereta masih di sekitar Barru – Pare-Pare (Sulsel). Itupun proyek era SBY. Untuk Kalimantan, tidak ada realisasi pembangunan KA. Mangkrak !
Setelah 4 tahun berkuasa, ternyata Rezim Jokowi kembali ke Jawa Sentris. Infrastruktur lebih banyak dibangun di Pulau Jawa. Konsep pinggiran kepung kota, hanya ada dalam pencitraan Jokowi dalam kampanye dan awal bekuasa. Tanpa implementasi.
Beragam penilaian kritis atas kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi:
1. Utang Pemerintah tembus Rp. 4.000 Triliun. Benarkah untuk infrastruktur seperti klaim Rezim Jokowi? Ekonom Faisal Basri menegaskan, pembangunan infrastruktur lebih banyak mengandalkan pembiayaan dari dana internal BUMN yang ditugaskan Rezim. Bukan berasal dari utang diambil Pemerintah langsung. Terbukti, utang Pemerintah relatif kecil hubungannya dengan pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, pembangunan kereta api ringan (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek), ditugaskan BUMN PT KAI dan PT. Adhi Karya. Dana dibutuhkan Rp. 31 triliun, tetapi Pemerintah memberikan PMN hanya Rp.7,6 triliun.
2. KPK perlu periksa pembangunan infrastruktur Jokowi karena ada indikasi korupsi raksasa. Ada kejanggalan di proyek infrastruktur Jokowi. Indikasinya, ada mark up. Ada biaya standar internasional harga per Km untuk biaya produksi jalan Tol, LRT dan lain-lain yang jauh lebih murah dari biaya yang dikeluarkan Pemerintah. Sebagai misal, salah satu proyek harga produksi per Km hanya USD 8 juta atau sekitar Rp. 120-an miliar. Namun, Pemerintah mengeluarkan Rp. 300 miliar per Km.
3. Ada 4 BUMN Karya terancam bangkrut karena terlilit utang jangka pendek untuk mengejar pembangunan infrastruktur
ditugaskan pemerintah. Diperkirakan, utang melilit 4 BUMN Karya Rp 156 triliun. Dari jumlah itu, Rp 115 triliun adalah utang jangka pendek, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 tahun. Kalau sampai tidak mampu bayar, maka negara harus mengcover dengan menyuntikkan dana APBN. Tentunya sangat membebani dan mengganggu program pembangunan infrastruktur lain. [mc]
*Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi NSEAS.