Nusantarakini.com, Jakarta –
Euforia Ustadz Abdul Somad (UAS) yang didesak dan dipaksa maju mendampingi Prabowo Subianto (PS), rupanya dibaca dan disikapi tim koalisi pemenangan Jokowi secara salah. Blunder dengan Ikut-ikutan terpancing memasang KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.
Fenomena UAS sangat berbeda dengan sikap politik Jokowi tersebut. UAS merupakan hasil dari ijtima ulama yang rindu dan ingin menegakkan kemuliaan agama. Para ulama yang direkomendasikan pra dan pasca ijtima menunjukkan sikap yang tawaduk, jauh dari hasrat dan cakar untuk berkuasa. Saling mengelak dan mendorong satu sama lainnya. Wajar saja publik bersimpati.
Saat UAS tetap menolak dicalonkan dan para ulama mendesak Prabowo untuk memilih ulama, apa yang dikatakan oleh Prabowo:
“Bisa saja mengambil ulama.. tapi saya tahu di sana sudah ada ayahanda Ma’aruf Amin.. jadi lebih baik saya tidak maju jika ummat Islam harus terbelah.. bukan saya tidak menghormati Ijtima.. tapi saya ingin Indonesia satu..”
Sikap negarawan ditunjukkan Prabowo melumerkan hati para ulama dan elit partai koalisi, yang pada akhirnya menerima Sandi Sholahudin Uno sebagai cawapres Prabowo.
Sebelum deklarasi pun Habib Rizieq Shihab telah menelepon Parabowo, karena mendengar nama Mahfud MD dibatalkan, diganti Ma’aruf Amin. Justru HRS minta agar cawapres PS jangan dari kalangan Ulama. Dikhawatirkan akan terjadi gesekan umat Islam. Dan minta Uno mendampingi Prabowo. Ia dianggap mampu menangani ekonomi negeri yang morat marit. Saran dan nasihat HRS ini juga yang makin memudahkan koalisi PS (Gerindra + PAN + PKS ).
Dari gambaran di atas, jelas sangat bertolak belakang dengan sikap politik yang ditunjukan Jokowi dalam konstelasi pencapresannya. Publik membaca penuh hipokrisi. Mahmud didepak, Ma’ruf Amin disorong. Demi mengkanter opini positip publik atas hasil ijtima ulama yang merekomendasikan Prabowo berpasangan dengan ulama. Terkesan sekedar untuk mengejar kemenangan belaka. [mc]
* Martimus Amin, The Indonesian Reform.