Nusantarakini.com, Jakarta –
Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. Sebuah lompatan besar pasca Soeharto dengan 2 Partai dan 1 Golongan, terakhir pada Pemilu 1997. Antara 1997 dan 1999 terlalu dekat, sehingga perubahan besar itu tidak menimbulkan perbaikan pada Kepemimpinan Negara ini secara signifikan. Rakyat masih terbelenggu oleh pikiran Orde Baru. Bahkan membawa pula malapetaka.
Habibie memperkenalkan dua KPU, KPU Pemerintah dan KPU Partai-partai. KPU Pemerintah terdiri dari 5 orang yang suaranya 48! Sedang KPU Partai-partai terdiri dari 48 Wakil-wakil Partai. Sebagai akibatnya suara KPU Pemerintah selalu menang, sebab mereka selalu kompak. sedang KPU Partai-partai suka bersaing. Habibie hebat, tapi perangai politiknya tidak beda dengan Soeharto: Licik! Waktu yang terlalu pendek, 97-99, mengakibatkan partai-partai baru tidak dikenal pasca Soeharto, sehingga menjadi Partai-partai Gurem. Hampir tanpa ada kursi di DPR. Masih bagus dan lumayan partai-partai baru pecahan Golkar, PPP dan PDIP.
Aku kaget, ketika Prof. Miriam Budihardjo, anggota Tim Verifikasi Partai, menelponku dari Minahasa dan mengatakan tidak terlihat Kantor PUDI. Aku kaget, bahwa di dalam UU Kepartaian ada syarat minimum banyaknya Cabang, Kantor, jumlah anggota dan lain-lain secara Nasional, dan dalam tiap Provinsi, tiap Kabupaten. Tapi akhirnya PUDI lolos juga dalam verifikasi dan ikut Pemilu tanpa mendapat kursi di DPR.
Saya sudah mulai merasakan adanya kesalahan dalam UU Kepartaian tentang syarat-syarat itu. Ternyata ada pula syarat-syarat yang menyulitkan di dalam UU Pemilu. Syarat-syarat yang sulit dan tidak masuk akal itu, kemudian dipersulit lagi oleh rezim-rezim sesudah Habibie.
Pada 2003, PUDI menyatakan tidak ikut Pemilu 2004 sebagai Protes. Orang membutuhkan ratusan milyar untuk bisa membikin Partai untuk menenuhi syarat-syarat yang amat sulit itu. Tentulah itu telah melanggar Pasal 28 UUD1945: “Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan dan.lain-lain dijamin oleh Undang-Undang.”
Ternyata undang-undang yang ada tidak menjamin “kemerdekaan”, yang menjadi Ketentuan Konstitusi itu. Perpolitikan Indonesia sudah dijual kepada para Taipan Konglomerat Cina. Mereka menjadi Bandarnya dan sekaligus Dalangnya, dan kita Pribumi menjadi Wayang Goleknya.
Perkembangan selanjutnya tidak cuma itu. Amien Rais sebagai Ketua MPR dikerjai oleh Asing dan Aseng, didorong untuk mengamandemen UUD45 Asli: Tidak boleh ada Superbody MPR. Tidak boleh ada Ekonomi Kerakyatan, melainkan Kapitalisme dan Liberalisme. Tidak boleh ada Majelis (Dewan) Pertimbangan Agung. Dan yang terberat tidak boleh ada Indonesia Asli untuk Calon-calon Presiden/Wakil Presiden.
Partai-partai pun harus berkoalisi sebelum Pemilu, tidak untuk membangun Persatuan, melainkan untuk menghilangkan Identitas Kepartaian. Supaya Partai-partai menjadi “gombal” yang tidak mungkin menghasilkan Kepemimpinan yang berkarakter kuat dan teguh, percaya diri dan menjadi Pemimpin besar tetapi akrab dengan Rakyat macam Soekarno dan Hatta. Melainkan kepemimpinan yang “pleyat-pleyot” mudah diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh Ki Dalang Asing dan Aseng, serta kelompok Koalisinya. Pilpres macam begini tidak boleh berlanjut, tapi harus disetop!
(bersambung).
*Sri-Bintang Pamungkas, Mantan Politisi, Aktivis Senior. [mc]