Nusantarakini.com, Jakarta –
Konsepsi masyarakat resiko diperkenalkan Ulrich Beck guna mendeskripsikan masyarakat late modernism. Masyarakat yang dimudahkan oleh teknosaintifik, cenderung menganggap dunia ini indah sebagaimana yang tampil dalam layar smartphone.
Generasi milennial sangat presisi sebagai arketype masyarakat resiko. Generasi yang terstimulasi untuk menolak realitas ironis seperti kemiskinan dsb sebagai efek samping dari gegap gempita pembangunan material.
Tak ayal, di tengah megahnya pembangunan property, narasi agung kepemudaan tidak terdengar lantang. Walaupun menjulangnya harga property kini semakin menggiring milennial untuk terlena menikmati status anak kos bahkan gelandangan.
Wajar jika Secara politik, generasi milenial cenderung menghindar karena resiko kekerasan, hoax yang merajalela. Milennialis tidak tertarik mengawal hasil pemilu dengan tawaran program, justru terjebak like and dislike pada fanatisme figur.
Politainment secara gradual telah mengikis makna politik bagi generasi milennial sebatas perkara ketokohan dari para politisi. Di ruang medsos, generasi milennial jarang terlibat diskusi tentang public goods dan public policy yang inheren dengan amanah pasal 33 UUD45.
Sadar tidak sadar, milennialis sedang melewatkan kesempatan sebagai agen perubahan saat property mengalami stagnasi harga yang mengkhawatirkan. Untuk itu perlu sebuah gerakan kolektif kepemudaan dan mahasiswa pribumi untuk merebut hak mereka mereka atas kebutuhan primer agar tidak semakin tersingkir dalam era pasar bebas ASEAN. [mc]
*Ziyad Falahi, Pemerhati Sosial Politik.