Nusantarakini.com, Jakarta –
Tanggal 27 Juni 2018 kemarin Indonesia melangsungkan pesta demokrasi besar, memilih kepala-kepala daerah, gubernur atau bupati/walikota di 171 daerah. Indonesia tentu patut berbangga karena pelaksanaan kegiatan besar itu berjalan lancar, aman dan damai.
Tentu yang terpenting dari semua itu hasilnya sudah dapat dipastikan untuk masing-masing daerah pemilihan. Di beberapa daerah terjadi persaingan ketat di antara kandidat. Dan di beberapa daerah lainnya ada kandidat yang dengan mudah memenangkan pemilihan.
Tulisan ini tidak lagi membahas siapa dan bagaimana bisa memenangkan pemilihan. Tidak juga bermaksud membicarakan bagaimana seorang kandidat memenangkan. Atau sebaliknya bagaimana seorang kandidat terkalahkan.
E saya membahas, atau tepatnya mempermasalahkan hasil, jika memang tidak terlalu vulgar isunya justeru hanya menambah beban. Baik beban pikiran, tenaga, waktu dan juga biaya.
Diakui atau tidak, dalam kontestasi politik kerap kali terjadi ketidak jujuran. Atau prilaku yang sejatinya melanggar etika dan moral berpolitik. Bahkan tidak jarang secara tidak malu-malu aturan-aturan mainan dilanggar seenak perut.
Egoisme dan rakus kekuasaan menjadikan sebagian melakukan apa saja, menghalalkan segala cara, untuk memenangkan pertarungan itu. Termasuk di dalamnya membeli suara atau menyuap pemilih dengan uang atau barang. Money politics menjadi salah satu wajah politik korup (corrupt politic) di negara ini.
Di sisi lain, rakyat kita yang memang sangat membutuhkan karena kemiskinan, baik karena keadaan atau memang karena mentalitas juga menjadi penyebabnya.
Artinya, kemuskinan yang terjadi di masyarakat dapat dibagi kepada dua kategori. Ada kemiskinan yang memang riil adanya. Tapi ada pula kemiskinan yang disebabkan oleh mentalitas dan karakter. Merasa miskin dan tidak pernah terpuaskan.
Kedua keadaan di atas rentang menjadi sasaran empuk para politisi yang rakus dan egois. Akibatnya, biaya politik (political cost) menjadi beban yang dahsyat. Pelaku politik dari sejak langkah awal sudah terbebani untuk mendapatkan dana yang tidak sedikit.
Intinya demokrasi bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi menjadi ajang transaksi kepentingan berbagai pihak. Partai politik, kandidat, maupun konstituen (pemilih) semuanya tidak peduli dengan kepentingan umum (public interesets) Tapi kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Akibat dari praktek politik seperti ini rakyat menjadi apatis. Tidak peduli sesungguhnya dengan tujuan demokrasi, bahkan pemilihan itu sendiri. Bagi sebagian pemilihan tidak lebih dari seremonial rutin lima tahunan. Bagi sebagian yang lain pemilihan adalah musim panen lima tahunan.
Menang atau kalah
Sejatinya dalam sebuah kontestasi akan ada yang menang dan yang kalah. Itu sudah sunnatullah. Dan terkadang di luar dari nalar biasa manusia.
Saya masih teringat ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Barack Obama. Sebelum hasil quick count diumumkan, hampir semua pihak, baik ahli maupun komentator politik memperkirakan jika esok harinya Amerika akan dipimpin oleh seorang wanita pertama kali dalam sejarahnya.
Kenyataannya di luar dugaan. Mr. DT memenangkan kontestasi politik Amerika dan berhasil menduduki jabatan kepresidenan di negara adidaya itu.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana menyikapi hasil dari proses politik itu? Apakah perlu bergembira dan berpesta pora jika menang? Atau sebaliknya perlukah ditangisi, bahkan marah dan putus asa jika kalah?
Berikut beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pengingat di saat-saat seperti ini.
Pertama, kita yakini bahwa langit dan bumi serta segala isinya berada di bawah kendali Yang Satu. Dialah yang memberi dan mengambil segala sesuatunya. Karena Dialah yang memiliki segalanya. Termasuk di dalamnya kekuasaan, tak lain hanya pinjaman dariNya. “Katakan (wahai Muhammad): Wahai Engkau yang memiliki kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tanganMu segala kebaikan. Sungguh Engkau berkuasa atas segala sejajar un” (Al-Quran).
Kedua, hidup secara keseluruhan adalah ujian. Karenanya nilai sesungguhnya tidak pada menang atau kalah dalam kontestasi itu. Nilai darinya justeru ada pada bagaimana menyikapinya. Menang hanya akan bernilai (berarti) jika disikapi dengan tawadhu’ dan rasa syukur. Kalah akan menjadi nilai (value) jika disikapi dengan sabar, introspeksi dan menerima keputusannya (takdir).
Ketiga, etika Islam mengajarkan bahwa kemenangan jangan dirayakan secara berlebihan. Bahkan dianjurkan untuk beristigfar dan memohon petunjuk dan pertolongan. Sebaliknya kekalahan tidak disesali dan dijadikan keputus asaan. Karena sesuatu yang telah nyata di hadapan mata itu hanya Allah yang tahu hakikatnya. “Boleh jadi kamu suka sesuatu tapi sesungguhnya tidak baik bagimu. Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tapi sesungguhnya baik bagi kamu” (Al-Quran).
Keempat, dalam pandangan Islam kemenangan tidak selalu dilihat pada akhirnya. Tapi pada niat dan prosesnya. Jika niatnya benar, lalu diproses secara benar pula dan penuh tanggung jawab, apapun hasil akhirnya itulah kemenangan. Keputusan Allah pada akhirnya itu yang terbaik dan sekaligus kemenangan. “Dan bekerjalah. Sungguh Allah akan melihat karyamu, juga rasulNya, dan orang-orang yang beriman” (Al-Quran).
Kelima, kekuasaan poliitk hanya satu dan secuil dari lahan amal. Ketika lahan ini lepas yakinlah di hadapan kita terbentang jutaan lahan amal lainnya. Karenanya dunia selalu terbuka lebar untuk melangkah. Cita juang hanya terbatasi oleh ketinggian langit. Maka jangan merasa terhalangi untuk berbuat baik karena kekalahan dalam kontestasi politik. Sebaliknya sadari bahwa dengan belum berhasilnya usaha di jalan ini itulah cara Allah untuk membuka jalan-jalan keberhasilan lainnya. Seribu menuju kepada pengabdian demi agama, bangsa dan negara.
Keenam, sebagai negara demokrasi proses menuju kepada kedewasaan demokrasi terus terbenahi. Kedewasaan dalam berdemokrasi banyak ditentukan oleh kedewasaan dalam menyikapi hasil dari konstestasi politik itu sendiri. Intinya siap menang. Tapi juga siap menerima kekalahan.
Ketujuh, hendaknya semua politisi harus memilki “common ground” (pijakan yang sama) dalam berpolitik. Dan secara kebangsaan pijakan yang sama adalah mewujudkan daerah/negara yang damai, adil dan sejahtera. Dalam bahasa Al-Qurannya adalah “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur”.
Demikian sebagai peringatan bagi kita semua, khususnya untuk mereka yang terlibat langsung di kontestasi pilkada kali ini. Baik untuk para kandidat, tim relawan, maupun para pendukungnya. Sekaligus peringatan untuk yang menang maupun yang kalah.
Akhirnya kepada Allah kita berserah diri. Amin!
Udara Makassar-Jakarta, 28 Juni 2018.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]