Nusantarakini.com, Jakarta –
SEPULUH ARGUMENTASI BAHWA MALAM KE-27 ADALAH LAILATUL QODAR
Apakah bisa dipastikan tanggal 27 Ramadan adalah lailatul qodar?
Untuk memastikan, barangkali lebih berhati-hati jangan.
Tetapi bahwa mayoritas ulama berpendapat malam yang paling diharap lailatul qodar adalah malam 27, maka ini benar. Ath-Thohawi berkata,
وذهب الأكثر إلى أنها ليلة سبع وعشرين وهو قول ابن عباس وجماعة من الصحابة
Artinya : “Mayoritas berpendapat bahwa lailatul qodar adalah malam ke-27. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah Shahabat” (Hasyiyah Ath-Thohawi ‘Ala Maroqi Al-Falah hlm 264)
Pendapat ini didasarkan pada sejumlah argumentasi berikut ini,
Pertama, Rasulullah ﷺ salat malam sangat serius dan benar-benar menghidupkan malam dengan ibadah pada malam 27 Ramadan. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ
اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ
.
Artinya : “Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ, dan beliau tidak pernah mengerjakan salat malam bersama kami dalam bulan Ramadhan itu sampai tersisa tujuh malam. Maka (di malam ketujuh tanggal 23 Ramadhan) beliau salat malam mengimami kami sampai berlalu sepertiga malam. Ketika tiba malam keenam (yakni tanggal 24 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat Malam. Ketika tiba malam kelima (yakni tanggal 25 Ramadhan), beliau salat malam mengimami kami hingga tengah malam berlalu. Aku (Abu Dzarr) berkata; “wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi lagi salat malam ini.” Abu Dzar berkata; Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang salat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan di catat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan salat malam) semalam suntuk.” Kata Abu Dzar; “Ketika tiba malam keempat (yakni tanggal 26 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam. Ketika tiba malam ketiga (yakni tanggal 27 Ramadhan), beliau mengumpulkan keluarganya, isteri-isterinya dan orang-orang, lalu salat malam mengimami kami, sampai kami khawatir ketinggalan “Al Falah.” Jabir bertanya; “Apakah al falah itu?” Jawabnya; “Waktu sahur. Setelah itu beliau tidak lagi mengimami salat malam bersama kami pada hari-hari sisanya di bulan tersebut (yakni tanggal 28 dan 29 Ramadhan).” (Sunan Abu Dawud juz 1 hlm 521)
Dalam hadis di atas disebutkan Rasulullah salat mengimami para Shahabat pada malam ke-23, 25, dan 27. Pada malam ke-23 beliau salat sampai sepertiga malam pertama (kira-kira sampai jam 22.00). Pada malam ke-25 beliau salat sampai tengah malam (kira-kira sampai jam 23.30). Pada malam ke-27 beliau salat sampai menjelang waktu sahur (kira-kira sampai jam 03.30).
Jadi, salat malam yang dilakukan Nabi yang paling lama durasinya adalah malam ke-27. Di malam itu, Rasulullah membangunkan seluruh keluarganya, istri-istrinya dan mengumpulkan orang-orang untuk diajak beribadah. Seakan-akan Rasulullah tahu bahwa malam itu memang malam lailatul qodar sehingga beribadah semalam suntuk (kira-kira dengan durasi 6-7 jam) dan mengajak kaum muslimin untuk menghidupkannya.
Kedua, Rasulullah ﷺ memberitahu bahwa lailatul qodar itu cirinya bisa diketahui dari bentuk bulan. Di malam itu, bulan terbit seperti piring yang dibelah. Bulan berada dalam kondisi ini adalah pada malam ke-27. Muslim meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَذَاكَرْنَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَذْكُرُ حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَهُوَ مِثْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ
Artinya “dari Abu Hurairah, ia berkata; Kami membincangkan Lailatul Qadr di sisi Rasulullah ﷺ, maka beliau pun bersabda: “Siapakah di antara kalian yang teringat ketika bulan terbit seperti belahan piring?.” (Shahih Muslim juz 6 hlm 84)
Ibnu Hajar menulis,
قَالَ أَبُو الْحَسَنِ الْفَارِسِيُّ أَيْ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَإِنَّ الْقَمَرَ يَطْلُعُ فِيهَا بِتِلْكَ الصّفة
Artinya : “Abu Al-Hasan Al-Farisi berkata, (bulan seperti piring dibelah) yakni malam ke-27, karena bulan terbit di malam itu dengan sifat seperti itu” (Fathu Al-Bari Li Ibni Hajar juz 4 hlm 264)
Ketiga, Rasulullah ﷺ dalam sejumlah riwayat mengucapkan dengan lugas bahwa lailatul Qodar adalah malam ke-27. Ath-Thobaroni meriwayatkan,
عَنْ مُعَاوِيَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ»
Artinya : ‘Dari Mu’awiyah, dari Nabi ﷺ beliau berkata, ‘Carilah lailatul Qodar pada malam ke-27” (Al-Mu’jam Al-Kabir Li Ath-Thabrani juz 19 hlm 349)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَقَالَ تَحَرَّوْهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Artinya : “dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mencarinya (malam lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada malam ke-27.” Beliau juga menyebutkan: “Carilah pada malam ke-27, yakni lailatul qadar.” (Musnad Ahmad juz 10 hlm 113)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلِيلٌ يَشُقُّ عَلَيَّ الْقِيَامُ فَأْمُرْنِي بِلَيْلَةٍ لَعَلَّ اللَّهَ يُوَفِّقُنِي فِيهَا لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ
Artinya : “dari Abdullah bin ‘Abbas; bahwa seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata; “Wahai Nabi Allah, saya adalah orang yang sudah tua renta yang sakit sakitan, sulit bagiku untuk berdiri, maka perintahkan kepadaku dengan satu malam semoga Allah menetapkanku bertemu dengan malam lailatul qodar.” Beliau bersabda: ” (Beribadahlah) pada malam ketujuh.”(Musnad Ahmad juz 5 hlm 74)
Keempat, persaksian Ibnu Mas’ud. Suatu saat Rasulullah ﷺ ditanya tentang kapan lailatul Qodar. Lalu beliau menyebut suatu malam sebagai “clue” dan ternyata malam tersebut menurut persaksian Ibnu Mas’ud adalah malam ke-27. Ath-Thobaroni meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَقَالَ:أَيُّكُمْ يَذْكُرُ الصَّهْبَاوَاتِ؟فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَنَا بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَذَلِكَ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Artinya : “Dari Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ ditanya tentang lailatul qodar. Beliau menjawab, ‘Siapa di antara kalian yang ingat (malam) shohbawat?’ Abdullah berkata,’Saya wahai Rasulullah, orangtuaku menjadi tebusanmu. (malam itu adalah) Ketika bulan terbit, yakni malam ke-27” (Al-Mu’jam Al-Kabir Li Ath-Thabrani juz 8 hlm 493)
Shohbawat adalah bentuk jamak dari shohba’ (الصهباء). Lafaz ini memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, dimaknai nama tempat di dekat Khoibar. Kedua, dimaknai unta yang berwarna merah kehitaman. Ketika Rasulullah menyebut malam shohbawat dan mengajak para Shahabat mengingat-ingat malam itu, seakan-akan Rasulullah ﷺ berusaha menghadirkan memori malam tertentu yang mereka habiskan di dekat Khoibar atau mereka habiskan sambil mengendarai unta merah. Rasulullah ﷺ ingin mengatakan bahwa malam itulah malam lailatul qodar. Ternyata Abdullah bin Mas’ud yang paling mengingat malam itu dan malam itu adalah malam ke-27.
Kelima, Istinbath Ibnu Abbas. Suatu hari Umar bertanya kepada Ibnu Abbas kapan lailatul qodar itu, maka Ibnu Abbas mengatakan malam itu adalah malam ke-27 dengan sejumlah argumentasi. Abdur Rozzaq meriwayatkan,
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: دَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُمْ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَأَجْمَعُوَا أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَقُلْتُ لِعُمَرَ: «إِنِّي لَأَعْلَمُ، أَوْ إِنِّي لَأَظُنُّ أَيَّ لَيْلَةٍ هِيَ؟»، قَالَ عُمَرُ: وَأَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ؟ فَقُلْتُ: ” سَابِعَةٌ تَمْضِي، أَوْ سَابِعَةٌ تَبْقَى مِنَ
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَقَالَ عُمَرُ: وَمِنْ أَيْنَ عَلِمْتَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ، وَسَبْعَ أَرَضِينَ، وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ، وَإِنَّ الدَّهْرَ يَدُورُ فِي سَبْعٍ، وَخَلَقَ اللَّهُ الْإِنْسَانَ مِنْ سَبْعٍ، وَيَأْكُلُ مِنْ سَبْعٍ، وَيَسْجُدُ عَلَى سَبْعٍ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ سَبْعٌ، وَرَمِيُ الْجِمَارِ سَبْعٌ، لِأَشْيَاءَ ذَكَرَهَا»، فَقَالَ عُمَرُ: لَقَدْ فَطِنْتَ لِأَمْرٍ مَا فَطِنَّا لَهُ
Artinya : “Ibnu Abbas berkata, ‘Umar mengundang para Shahabat Nabi Muhammad kemudian menanyai mereka tentang lailatul qodar. Mereka sepakat bahwa malam itu ada pada 10 hari terakhir Ramadhan. Ibnu Abbas berkata, aku berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya aku benar-benar tahu atau aku benar-benar punya dugaan kuat di malam apa malam itu”. Umar bertanya, ‘malam apa itu?’ Aku menjawab, ‘malam ke tujuh yang telah berlalu atau malam ketujuh yang tersisa dari 10 hari terakhir Ramadan’. Umar bertanya, ‘Dari mana kamu tahu itu?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Allah menciptakan tujuh langit, tujuh bumi, tujuh hari, masa berputar dalam tujuh, Allah menciptakan manusia dari tujuh unsur, makan dari tujuh unsur, sujud di atas tujuh tulang, bertawaf sebanyak tujuh putaran, melempar jamroh tujuh kali (dan seterusnya), Ibnu Abbas menyebut sejumlah hal.’ Umar berkata, sungguh engkau telah memahami perkara yang tidak kami pahami’”. (Mushonnaf Abdul Ar-Rozzak Ash-Shon’ani juz 4 hlm 246)
Keenam, mimpi salah satu Shahabat. Ada salah satu Shahabat Nabi yang bermimpi melihat lailatul qodar pada malam ke-27. Muslim meriwayatkan,
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Artinya : “dari Salim dari bapaknya radhiallahu ‘anhu, ia berkata; Seorang bermimpi bahwa Lailatul Qadr terdapat pada malam ke-27 bulan Ramadhan. (Shahih Muslim juz 6 hlm 70)
Ketujuh, sumpah Ubay bin Ka’ab. Ada satu riwayat lugas bahwa salah satu shahabat nabi yang bernama Ubay bin Ka’ab bersumpah bahwa lailatul qodar adalah malam ke-27. Muslim meriwayatkan,
عَنْ زِرٍّ قَالَ سَمِعْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ – وَقِيلَ لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ قَامَ السَّنَةَ أَصَابَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَقَالَ أُبَىٌّ وَاللَّهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ إِنَّهَا لَفِى رَمَضَانَ – يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِى – وَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُ أَىُّ لَيْلَةٍ هِىَ. هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
Artinya : “dari Zirr ia berkata, saya mendengar Ubay bin Ka’ab berkata, sementara beliau diberitahu pendapat Abdullah bin Mas’ud (tentang lailatul qodar) dengan berkata, “Siapa yang melakukan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan menemui malam Lailatul Qadr.” Ubay berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, sesungguhnya malam itu terdapat dalam bulan Ramadan. Dan demi Allah, sesungguhnya aku tahu malam apakah itu. Lailatul Qadr itu adalah malam, dimana Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk menegakkan salat di dalamnya, malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke-27 (dari bulan Ramadan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa syu’a (sinar menggaris).”(Shahih Muslim juz 2 hlm 178)
Bersumpah, apalagi atas nama Allah artinya mengucapkan sesuatu secara tegas dan pasti tanpa keraguan. Jika sesuatu masih diragukan, maka tidak mungkin shahabat berani bersumpah. Riwayat ini menunjukkan Ubay bin Ka’ab sangat yakin tanpa ragu sedikitpun bahwa lailatul Qodar itu malam ke-27
Kedelapan, Istikhroj surat Al-Qodr. Sebagian ulama berpendapat lailatul qodar jatuh pada malam ke-27 dengan menghitung kata dalam surat Al-Qodr. Setelah dihitung, ternyata lafaz hiya (هِيَ) dalam ayat berikut ini,
{سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ } [القدر: 5]
Lafaz hiya (هِيَ) yang kembali pada lailatul qodr adalah kata ke-27. Jadi, hal ini menjadi isyarat bahwa lailatul Qodar adalah pada malam ke-27
Kesembilan, jumlah huruf pada lafaz lailatul qodr. Jika dihitung, jumlah huruf yang ada pada lafaz lailatul qodr (لَيْلَةُ الْقَدْرِ) adalah sembilan. Lafaz lailatul qodr dalam surat Al-Qodr diulang 3 kali. Jadi, jumlahnya 27. Oleh karena itu, ini juga menjadi isyarat lailatul qodar jatuh pada malam ke-27
Kesepuluh,pengalaman ruhiyyah sejumlah orang salih. Ada sejumlah kisah pengalaman-pengalaman individu yang menguatkan bahwa lailatul qodar jatuh pada malam ke-27. Di antaranya adalah kisah An-Nawawi pada waktu masih kecil. An-Nawai adalah ulama besar yang mengarang sejumlah kitab terkenal di Indonesia seperti Riyadhus Sholihin, Arba’in Nawawiyyah, Al-Adzkar dan lain-lain. As-Subki menulis,
وَذكر أَبوهُ أَن الشَّيْخ كَانَ نَائِما إِلَى جنبه وَقد بلغ من الْعُمر سبع سِنِين لَيْلَة السَّابِع وَالْعِشْرين من شهر رَمَضَان فانتبه نَحْو نصف اللَّيْل وَقَالَ يَا أَبَت مَا هَذَا الضَّوْء الَّذِي مَلأ الدَّار فَاسْتَيْقَظَ الْأَهْل جَمِيعًا قَالَ فَلم نر كلنا شَيْئا قَالَ وَالِده فَعرفت أَنَّهَا لَيْلَة الْقدر
Artinya : “ayahnya (An-Nawawi) menceritakan bahwa di malam ke-27 Ramadan An-Nawawi tidur di sampingnya. Usianya waktu itu tujuh tahun. Kemudian An-Nawawi terbangun kira-kira tengah malam lalu bertanya, ‘wahai ayah, cahaya apa ini yang memenuhi rumah?’ maka seluruh keluarga bangun. Ayahnya berkata,’tapi kami tidak melihat apapun’. Ayah An-Nawawi berkata, ‘akupun tahu bahwa malam itu adalah lailatul qodar”. (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Li As-Subki juz 8 hlm 396)
Pengalaman serupa dirasakan oleh Abu Al-Mudhoffar bin Hubairah. Ibnu Rojab menulis,
وذكر الوزير أبو المظفر ابن هبيرة أنه رأى ليلة سبع وعشرين وكانت ليلة جمعة بابا في السماء مفتوحا شامي الكعبة قال: فظننته حيال الحجرة النبوية المقدسة قال: ولم يزل كذلك إلى أن التفت إلى المشرق لأنظر طلوع الفجر ثم التفت إليه فوجدته قد غاب
“Abu Al-Mudhoffar bin Hubairah Al-Wazir bercerita bahwasanya beliau melihat sebuah pintu terbuka di langit di arah utara ka’bah (waktu itu malam jumat) pada malam ke-27. Dia berkata, ‘Aku menduganya di depan kamar nabawi yang suci.’ Dia berkata, ‘Pemandangannya terus seperti itu sampai aku menoleh ke arah timur untuk melihat terbitnya fajar. Kemudian aku menoleh lagi ke arahnya, tetapi (pemandangan itu) telah lenyap”. (Lathoif Al-Ma’arif Li Ibni Rojab hlm 203)
Atas dasar ini, sungguh layak untuk berharap bahwa malam ke-27 adalah lailatul qodar sehingga kita bisa menyiapkan diri beribadah lebih giat di dalamnya. [mc]
Wallahua’lam
*Muafa, Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin.
Sumber:http://irtaqi.net/2018/06/04/sepuluh-argumentasi-bahwa-malam-ke-27-adalah-lailatul-qodar/