Nusantarakini.com, Jakarta –
Dorongan menulis kenangan tentang Pak Dawam demikian kuat. Namun selalu juga ragu. Atas dasar apa saya menulisnya. Dia terlalu besar keilmuannya untuk ditulis oleh orang awam seperti saya. Lagi pula saya tak pernah menjadi anak buahnya atau mengalami persentuhan intens yang langsung. Namun biarlah saya tetap menulisnya, agar ada varian awam yang ikut mengenangnya. Karena orang yang seperti saya pasti berjumlah jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang yang alim, tapi tetap merasa dekat dan merasa menjadi murid intelektualnya. Bukankah tak semua murid harus sepinter gurunya, bahkan lebih pinter dari gurunya?
Karena itu pula saya ikut datang ke pemakamannya di TMP Kalibata bersama cerdik pandai dan aktivis yang memang sudah seharusnya mereka untuk datang. Upacara pemakaman dipimpin Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin. Sambutan keluarga disampaikan oleh cendekiawan Fachry Ali. Di sana hadir orang-orang dari LP3ES seperti cendekiawan Daniel Dhakidae, Hadimulyo, Abdul Hamid Hamid, dan lain-lain. Hadir pula orang-orang Paramadina seperti Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Gaus, dan lain-lain. Orang-orang LSAF juga ikut datang seperti Budhy Munawar Rachman. Para aktivis JIL juga hadir seperti Ulil Abshar Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Nong Darol Mahmada, M Guntur Romli. Para tokoh KAHMI seperti Sulastomo, Akbar Tandjung, Sujana Sulaeman, dan masih banyak lagi. Wartawan senior Aristides Katoppo, Parni Hadi, Anif Punto Utomo Utomo, dan Nurjaman Mochtar. Mantan menteri koperasi Subiakto Tjakrawedaja juga hadir. Para tokoh Muhammadiyah seperti Haedar Nashir dan Hajriyanto Y Tohari juga ada. Para tokoh ICMI seperti Jimly Asshiddiqi, Priyo Budi Santoso, dan Tatat Rachmita Utami. Para aktivis Cides Ricky Rachmadi dan lain-lain. Ada pula politisi Ali Mochtar Ngabalin dan Muhammad Najib. Tentu banyak lagi generasi muda yang memiliki sentuhan dengan Pak Dawam.
Dawam adalah cendekiawan dan aktivis yang sezaman dengan Nurcholish Madjid, Adi Sasono, Imaduddin Abdul Rachim, Kuntowijoyo, M Amin Aziz, M Amien Rais, AM Saefuddin, Soetjipto Wirosardjono, dan lain-lain. Mereka adalah anak-anak Masyumi yang ketika masih anak-anak dan remaja masih menemukan Masyumi tapi ketika beranjak dewasa tak ada lagi Masyumi sehingga umumnya terjun ke dunia pendidikan dan aktivis LSM. Mereka adalah generasi pertama terdidik santri setelah Indonesia merdeka.
Inilah cerita titik persentuhan saya tentang Pak Dawam:
M Dawam Rahardjo. Saya adalah pengagumnya sejak dekade 1980an. Ini berkat jurnal Prisma yang ia pimpin. Saya mengikuti tulisan-tulisannya, baik tulisan pengantar di banyak edisi Prisma maupun tulisan khususnya tentang banyak tema. Analisis ekonomi politik dengan pendekatan struktural-historis ala Marxisnya sangat cocok untuk mengupas kondisi Indonesia, bahkan untuk negara berkembang pada umumnya. Apalagi saat itu saya masih mahasiswa, usia yang lagi gelisah dan selalu menolak kemapanan. Prisma adalah jurnal ilmu-ilmu sosial paling bergengsi yang pernah dilahirkan Indonesia. Bagi dosen, dan tentu saja mahasiswanya, merasa bangga jika menenteng Prisma ke kampus.
Tak berhenti di situ, selepas dari jabatan direktur di LP3ES, Dawam kemudian mendirikan LSAF bersama sejumlah sejawatnya dan mendirikan jurnal Ulumul Quran. Saya berlangganan sejak edisi pertama. Lagi-lagi Dawam menjadi pemimpin redaksinya. Saya paling suka mengikuti kolom tafsir Alquran dengan pendekatan tematiknya. Saking sukanya dengan jurnal ini, saya menyediakan diri menjadi lopernya untuk daerah Purwokerto, berkat jasa kawan sekampung saya Nasir yang aktif di LPTP Solo, sebuah LSM yang juga memiliki sentuhan dengan Dawam. Omzetnya lumayan untuk ukuran kota kecil. Saya memiliki pelanggan sekitar 15-30 orang. Bukan soal duit, tapi soal penyebaran gagasan.
Saya beranjak lebih jauh lagi, saya menemuinya di kantor LSAF di Jl Empang Tiga, kini nama jalan ini sudah berubah. Di kawasan Kalibata. Dawam orang yang ramah dan suaranya Jawa banget. Namun jika dipancing dengan hal yang tak ia sukai, suaranya segera meninggi. Wajah ademnya berubah menjadi tegak. Ya, saya datang untuk melakukan wawancara khusus untuk rubrik tanya-jawab di koran Solidaritas, koran milik mahasiswa FISIP Unsoed Purwokerto. Pada edisi pertama, memuat wawancara dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Temanya masih terkait, yaitu tentang pribumisasi ilmu-ilmu sosial yang lagi hangat menjadi pembicaraan saat itu. Saya sempat menanyakan mengapa ia menjadi Marxian dibandingkan dengan tokoh pembaharu Islam lainnya seperti Nurcholish dan Amien Rais. Ia agak sewot. Setelah wawancara, kami solat Jumat bersama di masjid dekat kantor LSAF.
Pertemuan kedua dengan Dawam adalah ketika LSAF membuka kursus Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr Rahman Jay. Saya tertarik untuk mengikutinya. Saya bergegas menemuinya di rumahnya di Jl Madrasah, Jatinegara, Jakarta Timur. Mengapa harus menemuinya? Karena biaya kursus itu Rp 75 ribu. Tentu saya tak mampu. Uang bulanan saja, dari orangtua, saat itu cuma Rp 45 ribu. Belum lagi kursus itu dilakukan seminggu sekali untuk beberapa bulan setiap hari Sabtu. Saya harus naik kereta api termurah, yaitu Solo Balapan. Dan itu tetap butuh biaya. Singkat kata, sebagai orang kampung yang tak mengenal Jakarta, saya harus banyak tanya untuk sampai ke rumahnya. Saya harus dua kali ke rumahnya, karena yang pertama Dawam tak ada di tempat. Dengan baik hati, ia mengizinkan saya untuk ikut kursus gratis. Tapi Dawam meminta saya untuk menemui Budi Munawar-Rachman, sebagai orang yang mengurusi kursus ini. Mas Budi orang yang ramah dan baik hati. Ia mengizinkan. Kali ini saya datang dengan Endang Fatah, kawan yang saya ajak untuk ikut kursus juga. Perkenalan dengan Mas Budi ini berlanjut, saya mengundangnya untuk mengisi diskusi di kelompok studi di Purwokerto – era itu kelompok studi menjadi trend di kalangan mahasiswa. Mas Budi juga mengisi jurnal kampus yang kami terbitkan.
Kehadiran ICMI pada 1990 menghadirkan kontroversi yang hebat. Kok cendekiawan bermain-main dengan kekuasaan Orde Baru yang otoriter? Apakah telah terjadi pengkhiatan kaum cendekiawan seperti yang ditulis Julien Benda? Apalagi ada perlawanan dari kelompok Forum Demokrasi yang dipimpin Gus Dur. Di kalangan mahasiswa hal itu menjadi bahan diskusi yang hangat. Sebagai pengagum Dawam saya membela kehadiran ICMI. Saya katakan tak mungkin orang-orang itu melacurkan kecendekiawanan mereka. Saya percaya pasti ada agenda yang lebih strategis yang sedang diperjuangkan. Ah, saya sok tau kali ya…
Tentu suatu kebanggaan tersendiri bahwa kemudian saya kadang harus mengedit tulisan analisis ekonomi Dawam ketika saya sudah menjadi redaktur halaman satu Republika. Ya, Dawam pernah menjadi pengisi tetap kolom analisis ekonomi di Republika yang terbit setiap Senin, bergantian dengan yang lain. Sehingga Dawam mendapat jatah sebulan sekali. Ternyata tulisan Dawam lebih cocok untuk tulisan jurnal atau buku. Kalimatnya panjang-panjang, dan tulisannya pun panjang. Sehingga harus dipotong bisa lebih dari separonya, bahkan 3/4-nya. Karena itu Dawam sering marah-marah. Tapi halaman koran sangat terbatas. Apa boleh buat. Dawam memang orang yang sangat serius. Sehingga tulisannya akan mengurai masalah dari akarnya, bahkan kadang mengembara, sebelum masuk ke pokok soalnya. Sebagai orang yang mengawali karier kepenulisannya dari dunia sastra, tentu diksi dan frasanya indah dan berbunga. Tak heran jika Dawam diminta untuk menulis sebuah kata pengantar untuk sebuah buku, maka tulisannya itu layak menjadi sebuah buku kecil tersendiri. Tulisan pengantar itu akan panjang dan dalam.
Dawam tak tertarik untuk menempuh pendidikan S2 atau S3. Ia hanya S1. Soal ini pernah saya tanyakan ketika wawancara untuk koran kampus saat saya mahasiswa. Suaranya meninggi. Ya, walau hanya S1 pengetahuannya sangat luas dan dalam, bahan saat itu ia membandingkannya dengan Dr Mubyarto – keduanya sama-sama ekonom kerakyatan dan sama-sama pembela pemikiran Hatta. Ia tak hanya memahami ilmu ekonomi sesuai studinya di UGM, tapi juga sangat memahami sejarah, sosiologi, kebudayaan. Dan tentu saja agama, yang kolom tafsirnya di Ulumul Quran sudah diterbitkan menjadi buku. Karena itu tepat sekali apa yang dikatakan Fachry Ali saat memberikan sambutan mewakili keluarga dalam upacara pemakaman: Dawam adalah guru intelektual dari banyak cerdik pandai yang kini menguasai jagad Indonesia.
Hal itu bisa tergambar dari orang-orang yang hadir saat pemakaman di TMP Kalibata atau bertakziyah ke rumahnya. LP3ES yang pernah ia pimpin adalah lembaga riset dan pemberdayaan masyarakat yang sangat bergengsi. Di sini berkumpul para aktivis dan cerdik pandai dari beragam aliran. Prisma adalah jurnal ilmiah paling berwibawa yang pernah ada di Indonesia hingga saat ini. Dawam juga aktif di LSAF, Paramadina, dan lain-lain. Ia pernah menjadi rektor di Unisma Bekasi. Ia juga aktif di Muhammadiyah. Di awal ICMI berdiri namanya sempat digadang menjadi sekjen. Dia juga sempat dijagokan untuk menjadi pemimpin redaksi saat ICMI mendirikan Republika. Dawam seorang penulis yang produktif dan menjangkau beragam isu. Tulisan dan bukunya ini yang banyak memengaruhi pikiran orang.
Saya sungguh tak beruntung karena tak memiliki kedekatan pribadi. Selamat jalan, guru… [mc]
*Nasihin Masha, Jurnalis Senior.