Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya rasa pendidikan keberagaman saya cukup lumayan. Saya cina dan istri saya jawa, anak-anak saya papan catur, perempuan putih, lelaki hitam, lelaki putih dan perempuan hitam. Bapak dan Ibu saya Katolik, saya sekeluarga Muslim
Di keluarga lebih besar lagi, Nenek saya Buddha, teman-teman saya Kristen Protestan, ada juga yang atheis, banyak yang agnostik. Saya pernah tinggal di Sumatra dan Jakarta, pulang kampung ke Jawa Tengah, lumayan khatam soal perbedaan
Beragam jelas-jelas akan banyak beda, tapi nggak pernah jadi masalah di keluarga besar saya, kita nggak harus ngaku paling Pancasilais untuk saling memahami perbedaan, saling menghargai pendapat, terlepas beda apapun
Ibu Bapak saya nggak pernah komplain kalau saya merusak persatuan keluarga apalagi negara, mereka nggak pernah nuduh bahwa saya suka mengkafirkan, apalagi membuat ketegangan antarumat beragama
Saya pun malah jadi lebih menghormati dan menyayangi mereka setelah mengenal Islam, sebab Islam itu agama yang keren, bisa mengubah kebencian saya pada orangtua menjadi cinta, agama ini agama kasih sayang
Islam bagi saya justru terbaik dalam urusan toleransi, menjaga kerukunan, mempersatukan. Lha, kita kira Pancasila itu dari mana? Ya dari Islam, sebab Pancasila nggak bakal bisa sempurna diartikan, kalau nggak pake Al-Qur’an
Tapi sekarang kita lihat, Pancasila ini lagi disandera oleh mereka yang ngakunya paling Pancasila, paling NKRI. Untuk apa? Ya untuk menyudutkan yang mereka nggak suka, dan dalam kasus yang sekarang, yang disudutkan itu Islam dan Muslim
Mereka ini justru yang kita lihat beringas, nggak bisa menerima beda, nggak mau diajak diskusi apalagi musyawarah, bisanya hanya persekusi dan marah-marah, membuat ketegangan, memprovokasi, main hakim sendiri
Beda konsep dikit yang lain dituduh radikal, beda fiqih dikit lalu langsung dituduh ISIS dan wahabi, beda amalan dikit langsung dituduh Islam arab. Lha, siapa yang nggak bisa nerima perbedaan kalau gini caranya?
Lebih-lebih yang diharap menanamkan Pancasila, justru nggak peka. Gaji ratusan juta dianggap wajar, kerja keras banget katanya, sementara rakyat susah. Tenggang rasa, tepa selira, cuma teori, yang penting teriak, saya Pancasila! (red)