Nusantarakini.com, Jakarta –
Tanggal 21 Mei 2018 masih menyisakan ngilu di pelipis dan mata kiri Azhar. Dia tak menduga, sepasukan kecil Brimob akan semurka itu kepada tubuh-tubuh ceking mereka.
Brimob-brimob itu membabi buta bagai banteng ngamok. Maftuh, Dicky, Azhar, dan teman-teman HMI-nya bagaikan dibantai setelah mereka ditempel dengan ketat sepanjang jalan menuju istana yang angkuh. Kepala mereka ditendangi bagaikan bola. Tubuh-tubuh rapuh mereka diinjak dan disepak ke sana kemari. Akibatnya fatal. Tujuh orang mahasiswa pemberani itu masuk rumah sakit. Maftuh, patah tulang rusuk. Azhar, mata kiri hampir saja rusak.
“Sepatu Laras Brimob itu persis menghajar tulang pelipis yang melindungi mata,” ingat Azhar, pada hari yang naas itu. Padahal mereka hanya menghidupkan tradisi kritis mahasiswa kepada kekuasaan sekaligus mengobarkan kembali api reformasi yang sudah mati oleh para penjilat dan pencuri kekuasaan di tikungan.
Saat itu mereka meneriakkan Jokowi Pemimpin Haram. Mereka menilai, Jokowi sudah haram untuk kembali berkuasa. Sebab, segala amanat reformasi mandul di zaman Jokowi. Hukum tidak tegak dengan baik. Kedaulatan nasional terancam. Ekonomi makin suram. Sementara Jokowi terus tanpa bosan dan henti-hentinya mengumbar citra orang baik. Padahal masyarakat sipil yang kritis disapu bersih oleh rezim Jokowi dengan memanfaatkan UU ITE.
Metode gelar protes yang ditempuh Azhar dan kawan-kawan HMI Jakartanya memang cerdas. Mereka langsung turun ke jalan. Tidak menggunakan sarana media sosial sebagai saluran protes. Sebab bisa-bisa ditangkapi. Tapi dengan aksi jalanan, selain perolehan liputan media lebih maksimal, mereka juga sekalian merawat keberanian dan pemberontakan sebagai anak-anak muda yang muak dengan tataran moral munafik yang dipompakan oleh rezim Jokowi.
Tapi risiko yang diterima rupanya tidak main-main. Babak belur dan trauma fisik harus ditanggung. Namun semangat dan kepercayaan diri mereka makin menguat dan menggumpal. Mereka tidak takut dengan Jokowi, walaupun mengerahkan lusinan Brimob lagi.
Terbukti, sesudah itu, tiba-tiba serombongan polisi dari Polres Jakarta Pusat mendatangi markas mereka. Azhar masih tidur. Dia tiba-tiba dibangunkan. “Bangun! Ada rombongan polisi datang,” seru teman seasramanya. Dia bangun. Ternyata para polisi yang dipimpin langsung Kapolres Jakpus itu bermaksud baik-baik, ingin melihat langsung anak-anak muda yang kini menjadi viral di seluruh Indonesia itu. Bagaimanapun, tentu sebagai pimpinan Polisi di lokasi mana peristiwa penganiayaan itu terjadi, dia terpanggil untuk bertanggungjawab.
Hutajulu, perwira menengah Polisi, membawa serta Wakapolres Arie, Kasat Intel Danu, dan serombongan anak buahnya. Mereka melangsungkan buka puasa dengan lesehan di markas anak-anak muda pemberani itu. Azhar dan teman-temannya juga menerima mereka dengan santai tanpa rasa dendam. Sambil berkelakar, Kapolres itu menawarkan bantuan perobatan kepada yang korban. Mereka juga menawarkan kerjasama program deradikalisasi untuk para mahasiswa, namun dengan bijaksana, Azhar menolak tawaran para polisi itu. Dia hawatir, jika tawaran polisi yang cukup menggiurkan itu diterima, bisa-bisa moral dan spirit perjuangan yang sudah mereka susun, hancur berantakan. Ditambah lagi, nama baik sebagai mahasiswa kritis akan hancur di mata publik.
Al Azhar Musa, kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 27 Januari 1993. Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Djakarta. Tinggal merampungkan skripsi.
Beberapa bulan belakangan, memimpin HMI Cabang Jakarta. Alamat di jalan Bunga. Markas HMI MPO di jalan bunga tersebut, bukan barang asing bagi aktivis demokrasi di Indonesia. Di tempat itu, banyak aksi direncanakan dan disusun. Markas mahasiswa itu bagian penting dari embrio gerakan reformasi 98 hingga Habibie turun dengan dramatis, karena anak-anak Bunga juga ikut menolak pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden.
Mereka konsisten dengan tujuan reformasi total, bukan reformasi setengah-setengah. Akibatnya banyak yang tidak senang. Tapi mereka tetap tak bergeming.
Rupanya hingga kini, gen pemberontakan dan perlawanan itu tidak pernah mati di Jalan Bunga. Selalu menjadi pelopor. Dan tidak pernah takut melawan arus. Itulah HMI MPO Cabang Jakarta, HMI mana telah menjadi viral saat semua orang mengenang perjuangan reformasi.
Azhar, masih bertekad untuk menggerakkan mahasiswa. Karena mahasiswa sekarang ini cenderung manis dan jinak. Mereka memotong imej jinak dan manis itu. Sebab mereka yakin, mahasiswa yang jinak dan manis hanya akan mengekalkan rezim yang kepala batu.
Syahrul E Dasopang/Wartawan