Nusantarakini.com, Jakarta –
Entah kenapa makin ke sini, makin tidak teratur dan terkomunikasikan dengan baik arah, orientasi, dan spirit 212 kepada masyarakat yang heterogen ikut ambil bagian dalam meramaikan aksi 212 dua tahun yang lalu.
Sepanjang catatan kita, awal mula tendensi akrobat politik praktis mengatasnamakan 212, terjadi pada saat sekelompok orang mendukung Hari Tanoe. Tiba-tiba, sekelompok lain, lagi-lagi mengatasnamakan 212, mengecam yang pertama. Kemudian berujung percekcokan dan timbullah organ-organ dengan embel-embel 212.
Silakan baca: https://m.liputan6.com/amp/3244039/headline-kepentingan-politik-di-balik-perpecahan-alumni-212
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/14/19104331/ini-alasan-presidium-alumni-212-bela-hary-tanoe
Pada awalnya muncul inisiatif pelembagaan gerakan alumni 212. Kemudian bermetamorfosis menjadi tiga kelompok: Presidium Alumni 212, Persaudaraan Gerakan 212, dan Garda 212.
Sebelum ada pertemuan dengan Jokowi yang heboh sekarang ini, telah terjadi pula silang pendapat saat kasus La Nyala Mataliti mencuat karena protes atas kegagalan dirinya mendapatkan tiket Cagub Jawa Timur. Sebelum-sebelumnya juga, telah banyak yang menggunakan afinitas simbolik alumni 212 dan kedekatan fisik dengan Habib Rizieq Syihab melalui postingan foto sebagai legitimasi dan sarana untuk posisi tawar politis ataupun seolah-olah telah mendapat mandat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah di berbagai tempat.
Jadinya, 212 benar-benar dimanfaatkan layaknya partai politik dan pintu masuk untuk mempengaruhi potensi massa.
Akibatnya secara wajar, embel-embel 212 diperebutkan banyak orang dan politisi bagaikan sebuah nomor cantik yang menjanjikan, kendati masih gambling apakah tokcer dapat diandalkan sebagai lumbung suara atau tidak. Pasalnya, tadinya pasangan Sudrajat – Syaikhu besutan Gerindra dan PKS optimis menang karena afinitas dengan 212, belakangan mengubah taktik kampanyenya dari berbasis sentimen 212 ke sentimen wirausaha. Apa pasal? Karena ternyata isu 212 tak laku dan hilang momentum serta relevansi di Dapil Jabar saat ini. Wajar, karena semua calon, sama-sama Muslim, bukan non Muslim atau pencela Al-Maidah 51 seperti Ahok.
Ketua Garda 212, Ansufri Idrus Sambo, menyatakan sudah ada 10 kelompok yang menjadi tempat berhimpun massa alumni 212. Masing-masing merasa berhak menyandang “angka cantik” itu. Malahan, ada yang mengambil sisi berlawanan.
Walhasil melihat kenyataan semacam ini, agaknya penting bagi setiap pihak yang telah terlanjur menganggap diri sebagai tokoh 212 untuk menahan diri dari main-main api politik pilpres atau pilkada serta pileg yang memang menggiurkan dan menjanjikan keuntungan itu. Kenapa harus menahan diri?
Karena ini ada jutaan orang yang ikut 212 diklaim setuju dan diklaim ikut dengan manuver-manuver politik. Padahal belum tentu juga setuju. Selain itu, manuver-manuver semacam itu, rawan mendegradasi capaian moral dan spirit yang telah dihasilkan dengan baik oleh aksi 212 yang lewat itu.
Kalaupun tak kuasa menahan diri untuk ambil bagian dalam tahun politik ini, hendaknya tidak perlu mengatasnamakan 212. Kalau juga tak bisa, mungkin tak ada salahnya, menyatakan organ-organ dengan embel-embel 212 itu bubar. Toh gerakan 212 itu lahir spontan dan sukarela hanya karena panggilan iman dan rasa tanggungjawab setiap umat membela harga dirinya yang dilecehkan rezim pada saat itu. Masak sekarang jadi lain hanya karena kesan rezim yang berubah sekonyong-konyong gara-gara takut popularitasnya melorot?
Syahrul E Dasopang/Peserta Aksi Tumbangkan Ahok 1410-411-212