Nusantarakini.com, Jakarta –
Menurut penulis Goldman Sachs, kekuatan perekonomian terbesar di tahun 2050 adalah Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Brasil, Meksiko, Rusia, India lalu Indonesia. Sedangkan baru-baru ini Pricewaterhouse Coopers memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke-4 di tahun 2050.
Hal ini diukur dari GDP (Growth Domestic Productc), Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 7.3 trilliun karena memiliki sumber daya alam yang sangat besar (natural resources) dan juga sumber daya manusia dengan penduduk nomor 4 di dunia.
Sedangkan Tiongkok selalu diprediksikan akan menjadi kekuatan terbesar di dunia. Karena disamping sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta karakteristik dan budaya bangsanya, adalah pembangunan yang berkelanjutan tanpa henti, meskipun terjadi penggantian pemimpinnya.
Hal ini karena telah diletakannya 4 (empat) Konstitusi Negara pada tahun 1981 oleh Mr. Deng dan menjadi acuan. Siapapun yang menjadi Presidennya tetap harus melanjutkan pembangunan sesuai dengan keempat konstitusi negara tersebut.
Keempat konstitusinya adalah sebagai berikut:
1. Revolusi pertanian.
2. Revolusi industri.
3. Revolusi teknologi.
4. Revolusi angkatan bersenjata.
Keempat konstitusi itulah yang membuat rakyatnya hiruk pikuk bekerja menuju kemakmuran yang berkeadalian serta kekuatan terbesar didunia.
Pada pemerintahan Orde Baru, dengan segala kekurangannya, Indonesia masih memilliki rencana pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan melalui Repelita 1 sampai Repelita 6. Dan pada akhir repelita 4 tahun 80-an Indonesia sudah dapat mencapai swasembada pangan.
Dan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara saat itu. Ini semua dapat tercapai karena pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan, dan tentunya juga karena situasi politik yang kondusif.
Setelah masuk ke era Reformasi, semuanya terhenti dengan Presiden baru, dan memulai dengan Visi dan Misi barunya. Karena undang-undang negara telah mengatur kesempatan untuk menjadi Presiden hanya boleh dua periode, maka dengan sendirinya visi dan misinya terhenti, ketika terjadi penggantian Presiden baru.
Diikuti dengan berbagai kelemahan struktural dan institusional, karena terjebak pada kohobitasi sistem PRESIDENSIAL yang tersandera koalisi multi partai parlementer, membuat Presiden dan kabinetnya tidak berfungsi efektif dalam progam kerjanya, karena memerlukan konsensus eksekutif dan legislatif. Yang pastinya menuntut imbalan politik dan seringkali terjadi KKN. Inilah resiko dan akibat dari sistem demokrasi Indonesia yang selalu mengacu dan mengikuti demokrasi Amerika.
Kembali ke jati diri dan sejarah Nusantara! Karena leluhur nusantara mampu membangun Borobudur yang setara dengan imperium piramida di Mesir. Bahkan sebelum Indonesia, sudah ada Sriwijaya dan Majapahit yang merupakan kekuatan besar di dunia pada saat itu.
Demokrasi Pancasila dan budaya gotong royong adalah karakteristik bangsa Indonesia dan kembali pada sila 4 dalam pemilihan pemimpin adalah yang terbaik untuk saat ini.
Pemimpin yang terpilih dengan sistem Demokrasi Pancasila berkonsensus dengan parlemen dengan meletakkan budaya bangsa yaitu gotong royong. Yaitu dengan membuat rencana pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan untuk menyejahterakan rakyat yang berkeadilan dan kemajuan bangsa serta menggapai Mimpi Indonesia menjadi kekuatan nomor 4 di dunia global. [mc]
*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Politik. Tinggal di Jakarta.