Nusantarakini.com, Jakarta –
Masih ada yang berupaya menghinakan Prabowo Subianto. Mau menang mudah, Prabowo disuruh jadi bedinde (wapres). Mengapa tidak Jokowi saja yang jadi bedinde? Tampangnya malah lebih pas. Sebanyak 12 kali Jokowi utus orang untuk meminang Prabowo jadi bedinde, semua ditolak. Yang ke 13, LBP disuruh. Ditolak lagi, dibalas Prabowo dengan menerima pencapresannya di Rakernas Gerindra.
Sebelumnya, lembaga polling yang dikerahkan membuat opini bahwa Prabowo pantas jadi bedindenya Jokowi. Tak mempan, dikerahkah lagi pengulas, termasuk Mahfud MD dan Denni JA. Tak jua mempan. Prabowo tak bergeming, kokoh seperti stalaktit.
Argunya bermacam-macam. Nanti di pilpres kalah lagi loe. Karena sudah dua kali kalah. Abraham Lincoln juga dua kali kalah, yang ketiga menang dan menjadi presiden paling mashur sepanjang sejarah Amerika Serikat.
Alasan lain: nanti masyarakat terbelah oleh pertandingan. Kok masyarakat yang disalahkan? Mau tak terbelah, stop demokrasi super liberal itu dan kembal ke Pancasila, Sila ke IV. Ente melanggar Pancasila, lalu masyarakat yang disalahkan, hanya karena jagoan ente kepepet dan takut: “tagar 2019 ganti presiden!”
Nanti bagini bagono. Usul agar 08 jadi King Maker saja. Tak mempan. Rayuan maut menurunkan derajat Prabowo ke tempat hina, bedindenya Jokowi. Sadis ente!
Kiat berubah sepekan ini. Jenderal Gatot Nurmantio yang kudu dimajukan oleh Prabowo menggantikan dirinya. Subtansinya sama, menyingkirkan Prabowo dari arena pertandingan dengan cara yang lebih laten karena Panglima TNI itu dicopot Presiden Jokowi dengan cara tidak wajar.
Saya tak bisa memasukkan reason sumir itu ke faktor determinan. Tak disangkal Gatot sering membela ulama ketika 411 maupun 212, gerakan itu memenjarakan Ahok, mengantarkan sejumlah aktivis yang dituduh makar ke penjara. Entah mengapa pretorian itu gagal. Mereka takut ke senapan impor Rp 2,7 triliun yang jatuh ke tangan tycoon.
Subtansi masalah, kubu Jokowi demikian takutnya kepada Prabowo. Tentu saja saya paham kubu Presiden Jokowi karena saya di Cokro 100 saat pilpres 2014. Kini bubar jalan, taubatan nasuha, begitu 66 biji janji pilpres Jokowi berubah dusta, praktis jadi kebobongan,
dan Presiden Clinton dimakzulkan karena berbohong, bukan karena dispong oleh Lewinsky.
Pertama, Prabowo memang orang kuat. Secara militer, ia punya jaringan tentara saptamargais, tentara ideologis. Musuh beratnya kubu Agum Gumelar, Hendro Prijono, Etc. Tapi mereka hanya punya satu kiat, peristiwa HAM masa lalu. Tak berarti Agum, Hendro, etc tak melanggar HAM. Datanya lengkap. Skor 1:1.
Kedua, Prabowo bermental kuat. Bahasa Maduranya “tak ge-oge”. Konsisten. Lihat Anies -Sandi yang mati-matian mewujudkan janjinya. Tidak pake manipulatif, tidak pake bujuki, merasa berdosa kalau janji tak tunai. Itu bawaan Prabowo. Bandingkan dengan Jokowi, semuanya “Ge – Oge”. Janji A dikerjakan B, janji B dikerjakan C, janji C dikerjakan D, bla bla bla. Presiden Ge – Oge. Secara akademik, kebenaran diukur dari konsitensinya. Jika di atas alpha 0.5, sudah batal. Skor 2:1.
Ketiga, nasionalisme Prabowo yang sangat kuat. Bandingkan dengan Jokowi yang kecina-cinaan, mestinya contoh Dahlan Iskan, kursus bahasa Hokkian sampai faseh. Tapi Dahlan memang cerdas, tidak plonga plongo. Telak. Skor 3:1.
Keempat, intelektualitas. Prabowo masih sempat menulis buku “Paradox Indonesia” (2017), masih melakukan presentasi novel Goost Fleet di FIB Universitas Indonesia. Bandingkan dengan Jokowi yang sama sekali tak bersintuhan dengan intelektual, kecuali komik Sincan yang memenya bertebaran di seantero sosmed. Skor 4:1.
Kelima, biaya. Saya baca kekayaan Prabowo masih ada Rp 1,6 triliun. Itu cukup membiayai sekali pilpres secara mandiri. Bandingkan dengan Jokowi yang harus kutip sana-sini. Ferdinan Hutahayan, eks kampain lapis pertama Jokowi 2014, menyebut Rp 6 triliun yang dikutip Rini Suwandi untuk biaya kampanye, maka Rini kemudian diberi jabatan Men BUMN untuk ngutip nutupi utang hasil ngamen itu. Setelah menang, utang baru dibayar. Sekarang Pertamina yang sedang diolah Rini. Skor 5:1.
Keenam, Prabowo belum pernah jadi presiden. Jadi tak ketahuan kelemahannya. Bandingkan dengan Jokowi, semua keburukanya sudah terbukti. Pendusta, terbukti dari 66 janjinya yang ingkar. Presiden mana boleh berbohong. Itu pelanggaran sumpah presiden. Itu juga social contract. Menurut Hobbes jika tak dipenuhi, rakyat berhak tarik mandat. Dan jika hak azasi rakyat sudah tak terlindungi, rakyat berhak memberontak.
Ketika 2014, jeleknya Jokowi belum terbukti. Saya pun tertipu. Ke depan, keburukan Jokowi sudah ada di hp masyarakat. Skor 6:1. (Bersambung).
*Djoko Edhi S Abdurrahman, Anggota Komisi III DPR 2004-2009, Advokat LPBH, PBNU. [mc]