Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya sengaja merubah judul catatan bersambung ini, karena substansi mendasarnya adalah membangun kesadaran penuh bahwa perubahan itu sejatinya akan terjadi ketika para pemuda terbangun dari lamunan panjang, dan mengambil tempat di garis terdepan untuk mengendalikan arah pergerakan bangsanya.
Pada catatan terdahulu telah disebutkan dua kriteria pemuda perubahan itu. Memiliki iman sebagai fondasi hidup dan juangnya, membentengi hati sebagai komando pergerakan hidupnya.
Pemuda itu peduli lingkungan
Membaca kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua) mengingatkan saya akan seorang pemuda Mekah, yang dicintai oleh semua orang ketika itu, bahkan digelari sebagai pemuda yang Al-Amin (dipercaya). Pemuda pintar, pemberani, dan berakhlak mulia. Dialah baginda Rasul, Muhammad SAW.
Tapi dari semua kelebihan pemuda itu satu hal yang kemudian membawa dampak besar, bahkan mungkin tidak berlebihan jika saya sebutkan sebagai awal perubahan yang akan merubah tidak saja Mekah, tapi dunia. Kelebihan yang saya maksud adalah bahwa pemuda Muhammad ketika itu memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada lingkungan hidupnya.
Beliau terlahir dan tumbuh dalam lingkungan yang sesungguhnya mulia dan dihormati. Tapi itupun tidak menjadikan beliau “spoiled” (manja) dan menerima keadaan. Beliau tidak merasa berada dalam lingkungannya yang menyenangkan (confort zone).
Sebaliknya beliau resah, gelisah dan bahkan marah dengan lingkungan sekitarnya, Mekah. Di kota yang dikenal sebagai pusat penyembahan (Al-Ka’bah), justeru terjadi berbagai kerusakan moral, baik pada tataran personal maupun sosial. Kegelisahan dan keresahan itulah yang menjadikan beliau kerap kali dan berhari-hari meninggalkan kota itu. Beliau keluar dari kota itu, bersunyi di sebuah gua di atas ketinggian sebuah pegunungan.
Tentu bersunyi (takhannuts) itu tidak identik dengan kepasifan. Tapi menjauh dari hiruk pikuk perkotaan, melakukan tafakkur untuk menemukan solusi terjadap berbagai penyelewengan sosial di kotanya. Dan ternyata kepedulian itulah yang menjadi pembuka awal datangnya perubahan totalitas di kota tersebut.
Di atas gunung yang kemudian dikenal dengan “gunung cahaya” (jabal nur) dan di dalam gua yang dikenal dengan nama “gaar hiraa” (gua hira) Allah turunkan manual perubahan sejati kehidupan. Dimulai dengan perintah berwawasan “IQRA” (bacalah). Sebab tanpa wawasan apapun akan menjadi kandas.
Dimulai dengan perintah IQRA itu sang pemuda itu diangkat secara resmi sebagai utusan Tuhan (rasul). Dan dengannya pula sang utusan itu mengajak manusia untuk keluar dari alam kegelapan menuju alam peradaban yang membahagiakan.
Demikianlah Allah kisahkan pemuda penghuni gua (Ashabul Kahf) itu. Mereka resah dan sedih melihat berbagai penyelewengan di zamannya. Mereka pun berkata: “haa ulaa qaumunat takhadzu qaumunat talhadzu min dunihi aalihah…..” (Itu kaum kita mengambil selain Allah sebagai sembahan….).
Maka pemuda masa kini, jika ingin menjadi motor perubahan harus memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Pemuda yang sensitif dengan penyelewengan-penyelewengan, dan melawannya. Bukan justeru hanyut dalam penyelewengan. Pemuda yang mampu mewarnai lingkungan. Bukan justeru menjadi objek warna-warni lingkungannya.
Bagi bangsa Indonesia kesadaran seperti ini bukan sesuatu yang baru. Jauh sebelum kemerdekaan dideklarasikan, pemuda-pemudi bangsa ini telah menyatakan tekad dalam sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda inilah yang menjadi bibit kesatuan NKRI.
Oleh karenanya, pemuda-pemudi bangsa harus membangun sensitifitas tinggi dalam menjaga bangsa dan negara ini. Harus membuka mata bahwa bangun jatuhnya, jaya hancurnya bangsa ini menjadi tanggung jawab besar mereka.
Menjaga diri
Pemuda yang diharapkan menjadi motor perubahan itu adalah pemuda yang mampu menjaga diri dari berbagai ancaman. Dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi, khususnya dalam dunia informasi dan telekomunikasi menjadikan para pemuda kita rentang untuk menjadi korban-korban perubahan.
Tapi bagi pemuda yang kokoh, dan sadar akan tanggung jawab besarnya dalam menyetir perubahan dunia, mereka akan menjaga diri. Mereka memiliki benteng yang kokoh dari berbagai macam serangan dan godaan.
Tapi cara yang paling efektif dalam membentengi diri adalah dengan melakukan pengabdian totalitas “hanya kepada Allah”. Pengabdian totalitas inilah yang menjadikan hidupnya terikat dengan ikatan janji fitrah: alastu bi Rabbikum? (Bukankah Aku Tuhanmu). Janji itulah yang terpenuhi dengan “wa maa khalaqtul jinna wa insa illa liya’buduun” (tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu).
Pemuda penghuni gua (Ashabul Kahf) itu dikisahkan: “wa idzi’tazaltumuuhum wa maa ya’buduuna illallah” (dan ketika kamu menjauh dari mereka orang-orang musyrik itu, dan kamu tidak menyembah kecuali Allah). Kesadaran akan ancaman kerusakan akidah dan moralitas itu menjadikan mereka semakin kuat membentengi diri dan mendekatkan diri kepada Allah semata.
Pemuda-pemudi bangsa inipun demikian. Ancaman jelas di hadapan mata. Narkoba, miras dan pergaulan bebas, pornography dan prostitusi merajalela, hingga kepada persaingan materi duniawi yang tidak terkendalikan sehingga korupsi menjadi seolah bahagian dari budaya hidup bangsa.
Tapi yang paling menyedihkan adalah hilangnya nilai-nilai “uswah” kepemimpinan kolektif. Pemuda-pemudi kehilangan “ketauladanan” kepada mereka yang memegang amanah. Sehingga pemuda-pemudi menjalani hidup bagaikan anak-anak ayam kehilangan induk.
Dan karenanya pemuda-pemudi yang sadar tanggung jawab perubahan itu akan membangun benteng hidup. Mereka akan menjadi pemuda yang berkata: inilah saya. Bukan karena orang lain, bahkan bukan karena ayahku.
Lingkungan yang baik
Kesadaran menjaga diri dari berbagai ancaman itu menjadikan pemuda-pemudi penggerak perubahan itu akan mencari lingkungannya yang sesuai. Lingkungan itu penting. Sekuat apapun iman seseorang jika berada dalam lingkungan yang bobrok, boleh jadi akan terkontaminasi dan ikut menjadi pesakit.
Saya diingatkan sebuah cerita dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Cerita sang pemuda yang telah membunuh 99 orang. Lalu sadar dan ingin bertaubat. Tapi ketika menanyakan kepada seseorang apakah Tuhan masih akan mengampuninya dan dijawab “tidak!”, dia membunuh juga orang itu. Kini sang pemuda itu telah membunuh 100 orang.
Tapi masih ada keinginan untuk taubat dan berubah. Ketika bertanya kepada orang lain apakah dia masih akan diampuni Tuhan, orang itu menjawab: “iya” karena rahmatNya lebih luas dari segala dosa.
Sang pemuda itu pun disuruh untuk berangkat ke sebuah kampung dan berkumpul bersama orang-orang yang menyembah Tuhan di kampung itu.
Singkat cerita di tengah jalan dia meninggal dunia. Dan karena jarak tujuannya lebih dekat dari perjalanan awalnya, dia diapuni dan masuk Syurga.
Poin penting yang ingin saya garis bawahi dari kisah pemuda di hadits ini adalah arahan orang itu agar dia pergi ke sebuah kampung dan bergabung dengan orang-orang menyembah Tuhan. Apa alasan perintah pergi ke kampung seberang dan berganung dengan mereka yang menyembah Tuhan? Tidakkah cukup baginya untuk diampuni dengan kesadaran pribadi dan meminta ampun?
Jawabannya adalah bahwa dalam proses membentengi diri dan melakukan perubahan, mencari lingkungan yang kondusif menjadi sangat menentukan. Oleh karenanya, pemuda yang ingin terselamatkan dari ancaman zamannya adalah pemuda yang tiada henti mencari lingkungan pergaulan yang baik.
Tapi lebih dari sekedar mencari lingkungan yang lebih baik, pemuda-pemudi yang diharapkan menjadi motor perubahan adalah mereka yang mampu menciptakan lingkungan yang baik. Mereka inilah pemuda yang digelari “Al-Muslihun” (pembawa perbaikan), dan bukan sekedar “shoolihuun” (orang-orang baik).
Itulah yang terjadi dengan pemuda penghuni gua itu. Mereka pada akhirnya menjadi agen-agen dan lentera perubahan di masyarakatnya. Walaupun dalam cerita itu dikisahkan beratus tahun. Perubahan memang tidak selamanya terjadi dengan membolak balik telapak tangan. Perlu proses panjang.
Saya sangat yakin, di tengah hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin bangsa, di tengah erosi integritas pemegang amanah kekuasaan, masanya pemuda-pemudi bangsa bangkit dan melakukan “ishlaah” (perbaikan). Umat dan bangsa ini merindukan para pemuda untuk kembali menyatukan hati bangsa dan umat untuk menuju kejayaannya. Semoga! [mc] (Bersambung).
(In the sky from NY to Dubai).
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.