Nusantarakini.com, Jakarta –
Lengkapnya Pasal 27 (1) UUD45 Asli itu berbunyi “Setiap Warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal tersebut menegaskan, bahwa antara presiden dan seseorang rakyat itu sama kedudukannya di mata hukum, sebab presiden itu rakyat juga. Kalau rakyat bisa salah, maka presiden juga bisa salah. Dan kalau rakyat dihukum karena kesalahannya, maka presiden pun bisa dihukum. Jadi apa yang dilakukan Zaadit, Ketua BEM-UI itu bukan apa-apa; sah-sah saja dalam ruangan Daulat Rakyat. Kalau dalam menerima Kado Lebaran dari Jokowi, Kapolri Tito menerima dengan terbongkok-bongkok, ya tidak apa-apa juga, karena mereka menganggap berada di ruangan Daulat Tuanku.
Lebih dalam lagi, Pasal tersebut sebetulnya dimaksud tidak saja menolak feodalisme “yang terbongkok-bongkok” tadi, yang “nyembah-nyembah” kepada atasan itu, tetapi menolak otoriterisme. Kita ini berada di Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan. Orang macam Jokowi dengan kebolehannya menjalankan Negara macam dia itu buuuanyak… Orang Jawa Solo bilang sak tekruk… atau mblader. Yang lebih pinter juga buanyak. Jadi, Jokowi jangan beranggapan paling pinter karena Presiden, lalu sewenang-wenang. Bedanya presiden dengan rakyat biasa itu, karena dia menang Pilpres. Itu pun karena mas Joko ikut Pilpres. Dia menang dengan harapan para Pemilih, bahwa dia bisa memperbaiki keadaan Rakyat, Bangsa dan Negara. Joko sendiri kala dalam rangka Pilres itu juga “terbongkok-bongkok” kepada rakyat Pemilih dengan seribu janji… bahkan dengan mencium tangannya Dubes AS segala! Di situ tersembunyi soal amanat rakyat dan tanggungjawab. Sekali lagi, Presiden dan segala pejabat yang diangkat dengan undang-undang itu, termasuk anggota DPR dan para Hakim itu, adalah rakyat, yang datangnya dari rakyat dan bekerja untuk rakyat. Kalau salah dihukum… dan lebih berat daripada yang tidak menerima amanat dan yang tidak harus bertanggungjawab.
Oleh sebab itu, salahsatu alasan dicabutnya Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasal 27(1) tersebut. Alasan lain adalah demi kemerdekaan berpendapat dan karena warisan kolonial Belanda… agar rakyat tunduk kepada Penjajah Belanda dan Ratunya. Pasal-pasal 134, 136.bis dab 137 itu dicabut Mahkamah Konstitusi/MK dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, pada 16 Desember 2006, di jamannya SBY menjadi presiden.
Hari itu, 15 Mei 2006 Kelompok Ganti Rezim Ganti Sistim berunjukrasa di Bunderan Hotel Indonesia. Pandapotan Lubis bersama 15 orang Aktivis kawannya menuntut mundur SBY-JK. Mereka membawa Baliho gambar SBY dan JK dengan tulisan NO TRUST dan DOWN, maksudnya, wahai SBY-JK, kami sudah tidak percaya lagi kepada Anda, maka Turunlah saja Kau ini. Kalau model Zaahid, ini kartunya sudah MERAH! Kebetulan saya absen hari itu… jadi Pandapotanlah yang ditangkap dan ditahan dan di-BAP. Dia sempat mendekam tiga bulan sebelum dibawa ke Meja Hijau Jakarta Pusat. Pandapotan terkena sekaligus 3 Pasal Penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden itu!
Kebetulan Saudara Eggi Sudjana juga punya perkara dengan SBY, gara-gara Eggi menyebar berita Anak-anak SBY menerima beberapa mobil mewah dari Cukong… Saudara Eggi terkena satu pasal saja, yaitu Pasal 134. Secara tidak direncanakan, kami berdua mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi. Saya meminta kehadiran para korban Pasal Penghinaan tersebut, termasuk Nuku Soleiman dan Yenny Rosa Damayanti (1993) Saya sendiri adalah salahsatu korban yang sama dalam Peristiwa Jerman (1995). Ternyata korban di jaman Mega ada belasan… demikian juga di jaman SBY. Tidak semua korban bisa hadir… di masa Yenni saja ada 21 pemuda dan mahasiswa. Jimly Asshiddiqie, Ketua MK Pertama, memenangkan kami. Itu sebuah usaha yang luar biasa. Pandapotan Lubis bebas sebelum ada vonis, dan mangkir dari Pengadilan…
Yang menarik, tidak lama setelah Pasal Penghinan itu dicabut, seorang anggota DPR Zaenal Ma’arief mengaku punya video perkawinan SBY dengan wanita lain, sebelum dengan Kristiani. Kontan Presiden SBY melaporkan Zaenal ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan menghina/memfitnah lewat Pasal 310/KUHP, karena ini memang pasal aduan. Zaenal sempat kena recall oleh Partainya, Bintang Reformasi… dan konon menerima beberapa milyar untuk tutup mulut, mungkin untuk membeli videonya. Kasusnya selesai begitu saja! Tetapi sekarang cerita itu terulang lagi, kali ini oleh seorang bernama Firman Widjaja. Apa SBY akan menggugat lagi?!
Tetapi yang sangat penting dari dicabutnya Pasal Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Ptesiden ini adalah bagian akhir dari Amar Putusan MK, yang berbunyi sebagai berikut:
… Sehingga dalam RUU KUHPidana, yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial, juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136.bis dan Pasal 137 KUHPidana.
Artinya, upaya apa pun, khususnya secara eksplisit disebut RUU KUHP oleh MK, untuk mengembalikan Pasal Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, sekalipun cuma mirip, harus DITOLAK. Dewasa ini RUU KUHP yang memuat, antara lain, Pasal Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, dihidupkan kembali oleh Rezim Joko-Jeka dan sedang dibahas oleh DPR-RI. Pasal-pasal baru ini pun harus pula DITOLAK, dan Pembahasannya oleh DPR DIHENTIKAN.
Tidak banyak pula diketahui oleh umum, bahwa selang waktu yang tidak terlalu lama, yaitu pada 16 Februari 2007, Dr. Panji Utomo mengajukan permohonan Uji Materi Pasal 154 dan Pasal 155/KUHP, yang dikenal dengan Pasal Karet, atau Haatzaai Artikelen, Pasal Penyebar Kebencian, yang ditujukan kepada pemerintah. Intinya Panji menyampaikan pendapatnya dalam Aksi Damai bersama ratusan korban tsunami Aceh, kepada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi/BRR di Banda Aceh, yang merasa diperlakukan tidak adil sesuah dua tahun peristiwa tsunami Aceh. Aksi dihadapi oleh senjata berat dan water cannon disertai dengan penganiayaan. Panji ditangkap dan dijadikan tersangka yang melangar Pasal 154 dan Pasal 155/KUHP.
Sama seperti Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka Pasal 154 dan Pssal 155/KUHP Penyebar Kebencian terhadap Pemerintah ini juga dicabut oleh Jimly Asshiddiqie, pada 17 Juli 2007. Di dalam Amar Putusanya, MK juga mengutip kembali Amar Putusan MK terdahulu atas Pencabutan Pasal 134, Pasal 136.bis dan Pasal 137.
Di sini perlu dicatat, bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP mempunyai kesamaan dengan Pasal 156/KUHP Penyebar Kebencian terhadap SARA, dan berada dalam satu Bab, yaitu Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Mungkin juga sudah saatnya mulai melihat kembali kemungkinan mencabut Pasal 156, yang juga Warisan Belanda Kolonial itu, yang korbannya juga sangat banyak.
Yang tidak boleh dilupakan, sekarang ini Rezim Joko-Jeka juga menggunakan Pasal-Pasal UU ITE/Infiormasi dan Transformasi Ekektronik dan UU Anti Diskriminasi untuk melakukan penangkapan-penangkapan terhadap Tersangka Penyebar Kebencian. Kalau ternyata pasal-pasalnya terbukti digunakan sama atau mirip, yaitu untuk menuduh adanya penghinaan/pembencian/permusuhan terhadap Presiden/Wakil Presiden dan Pemerintah, maka pasal-pasal UU ITE dan UU Anti Diskriminasi tersebut harus pula DICABUT. [mc]
*Sri-Bintang Pamungkas, Dewan Pembina Musyawarah Rakyat Indonesia.