Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam sebuah sabdanya nabi pernah mengingatkan: “barangsiapa yang bisa mengontrol lidahnya syurga dijamin baginya.”
Pernyataan Baginda Rasulullah SAW itu sangat mendasar, khususnya dalam konteks hubungan antar manusia, dan lebih khusus lagi ketika hubungan itu berkaitan dengan publik kemasyarakatan.
Kata pepatah: “lidahmu harimaumu.” Lidah bisa menjadi kunci perdamaian dunia. Tapi lidah juga bisa menjadi pemicu peperangan antar manusia.
Peranan lidah yang krusial dalam kehidupan manusia itu menjadikannya salah satu objek yang dipakai sebagai sumpah Allah dalam Al-Quran. Sebagaimana difirmankan: “wa lisaanan wa syafataen” (demi lisan dan kedua bibir).
Oleh karenanya setiap kata yang terucap oleh lisan atau lidah terjaga ketat oleh dua malaikat. Sebagaimana firmanNya: “dan tidaklah terucap sebuah kata kecuali ada malaikat Raqeeb dan Atiid” (mencatatnya).
Sedemikian sensitifnya ucapan atau kata-kata sehingga mewakili seluruh prilaku manusia. Karena sesungguhnya yang dicatat oleh kedua malaikat Raqeeb dan Ateed itu adalah seluruh perilaku manusia, baik dalam kata maupun dalam aksi.
Ucapan Tokoh
Di sinilah pentingnya kita saling mengingatkan untuk menjaga lisan atau kata. Apalagi jika kata itu dalam bentuk pernyataan seorang tokoh, baik tokoh agama maupun tokoh politik. Karena pernyataan seorang tokoh itu sangat sensitif dan akan berdampak luas kepada khalayak publik.
Seorang tokoh seharusnya bijak dalam berkata dan berprilaku. Sebab kata dan prilakunya akan menjadi panutan di satu sisi, dan akan cepat mendapat penilaian publik di sisi lain. Apakah itu positif atau sebaliknya negatif.
Yang paling berbahaya adalah ketika pernyataan publik itu terlontar dari seorang tokoh nasional, dan mengarah kepada pernyataan “divisive.”
Ambillah sebagai contoh. Ketika seorang tokoh mengatakan bahwa di negara Indonesia ini hanya orang-orang Islam yang tergabung dalam dua organisasi yang dianggap loyal kepada negara, yaitu warga Muhammadiyah dan warga NU. Dan kerenanya kerjasama dan dukungan pemerintah hanya ditujukan kepada kedua organisasi ini.
Semakin runyam ketika ditambah dengan penekanan bahwa selain kedua organisasi ini tidak loyal dan cenderung melakukan makar kepada negara. Dan karenanya harus diamati dan diawasi.
Di negara ini ada 200 juta lebih umat Islam. Sementara yang tergabung dalam dua organisasi besar itu hanya sekitar 70 juta umat. Lalu apakah 130-an juta anggota umat di negara ini tidak loyal dan berbahaya kepada negara?
Jelas pernyataan ini sangat tidak sensitif dan tidak realistis. Bahkan boleh jadi menjadi pernyataan “divisive” yang membawa kepada perpercahan dan permusuhah di antara elemen-elemen bangsa.
Pernyataan seperti itu jelas membangkitkan kecurigaan di antara elemen-elemen bangsa, khususnya dalam tubuh umat Islam. Sebab selain Muhammadiyah dan NU, akan merasa dianak tirikan dan dikucilkan, bahkan dianggap berbahaya dan tidak loyal kepada negara.
Pernyataan ini juga sekaligus merendahkan nilai ukhuwah dan kesatuan umat. Seolah umat ini dalam menyikapi negara saling berlawanan. Ada yang loyal dan tidak sedikit pula yang berbahaya kepada negara.
Umat Islam sadar akan keragaman yang ada dalam tubuh umat. Baik itu keragaman pemikiran dan pemahaman keagamaan, maupun keragaman dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Tapi satu hal yang secara mendasar dipahami oleh umat ini adalah bahwa semuanya bersatu dan berukhuwah dalam membangun loyalitas kepada agama dan negara.
Loyalitas dan kecintaan umat Islam tidak terpilah-pilah dan tersekat-sekat di antara kompartmen agama dan negara. Sebab umat jugalah dalam sejarah merebut kemerdekaan, mempertahankannya, hingga kepada membangun dan mengisi kemerdekaan berada di garda terdepan.
Ambillah sebagai misal perumusan Pancasila dan UUD 45 melibatkan ulama-ulama besar, baik dari kalangan Muhammadiyah, NU dan elemen-elemen umat lainnya.
Dan karenanya merupakan sebuah blunder jika menyatakan bahwa mayoritas umat ini tidak loyal kepada negara, Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Khawatirnya pernyataan ini ditangkap oleh umat sebagai bentuk kriminalisasi umat. Semoga tidak! [mc]
Jkt – Lombok, 31 Desember 2018
* Presiden Nusantara Foundation