Nusantarakini.com, Jakarta –
Masih segar ingatan publik terhadap reklamasi. Era Gubernur Jokowi, Ahok dan Djarot Syaeful Hidayat, reklamasi diperjuangkan, Anies menghentikannya. Kebijakan ini diambil hanya beberapa waktu setelah pelantikan. Berbagai ancaman taipan dan sikap represif penguasa dihadapi, bahkan dilawannya. Reklamasi adalah hunian para konglomerat yang menggusur nelayan. Reklamasi berpotensi menambah kemiskinan dan pengangguran, selain merusak alam. Alasan ini yang mendorong Anies bertekad menghentikannya.
Tak lama berselang, Alexis, bisnis esek-esek kelas kakap ditutup. Meski milyaran rupiah pajak yang disetor ke DKI, tapi dampak kerusakan moral yang harus ditanggung masyarakat Jakarta dan bangsa ini lebih besar. Sejumlah politisi dan orang besar miris jika video yang diperoleh Anies terbongkar. Salah satu partai bersimpuh dan memohon agar video itu tidak dipublis.
Seiring dengan kabar video Alexis, sejumlah anggota legislatif dari partai tertentu mulai melunak, begitu juga penguasa. Adakah kaitannya? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu.
Soal tegas, ukurannya bukan kata-kata, apalagi kemarahan, kata Anies. Tegas itu sikap dan kebijakan. Inilah yang membedakan Anies dengan gubernur sebelumnya.
Saat TGUPP diajukan ke Kemendagri, Tjahyo Kumolo langsung mencoretnya. TGUPP diminta dibatalkan. Mendengar itu, Anies tidak terima dan melawan. Ini sikap diskriminatif. Jika pada masa Jokowi, Ahok dan Djarot diperbolehkan, kenapa pada masa kepemimpinan kami tidak diijinkan? Kata Anies. Perlawanan Anies ternyata efektif. Mendagri akhirnya terpaksa mengijinkan, dari pada harus berhadapan dengan rakyat.
Ketegasan ini dibuktikan kembali oleh Anies terkait pedagang kaki lima di tanah abang. Mereka adalah orang kecil yang mencari rizki dan sesuap nasi di negeri sendiri. Mereka orang susah yang mencoba bertahan hidup di Jakarta. Kata Anies: jika orang kecil memakai tanah negara diributkan. Kenapa ketika melihat banyak mall yang dibangun di atas tanah negara semua pada diam? Bukankah negara ada untuk memakmurkan rakyatnya?
Menggusur bukan cara yang tepat untuk memperlakukan orang kecil. Mereka perlu dicarikan tempat yang layak dan dibangunkan gedung yang pantas. Saya bersama Sandi, kata Anies, sepakat untuk membela orang-orang kecil. Kami menegaskan bahwa kami berada di pihak wong cilik.
Sejumlah video terkait ketegasan dan keberpihakan Anies telah viral di medsos. Menyaksikan video itu, rakyat seolah mendapatkan pemimpinnya. Pemimpin yang mengayomi. Sampai disini Anies telah menunjukkan karakter dan keberpihakannya. Apakah ini hanya di awal saja, atau akan menjadi pilihan seterusnya? Atau malah sekedar pencitraan? Rakyat perlu dengan cerdas mengawasi dan mengawalnya.
Sesuai tagline kampanye Anies-Sandi: Maju Kotanya, Bahagia Warganya. Membangun kota tidak selayaknya mengorbankan kenyamanan dan kebahagiaan warga. Idealnya dua hal itu mesti seimbang. Orientasi infrastruktur mengabaikan perasaan bahagia yang merupakan bagian dari unsur suprastruktur masyarakat adalah abdurd. Sebuah kebijakan anomali. Anies ingin membangun keduanya. Dengan langkahnya selama ini, Anies nampak konsisten.
Lalu, bagaimana ketegasan Anies soal birokrasi? Kabarnya, Anies telah memanggil semua kepala dinas. Mereka adalah orang-orang yang belum lama ini diposisikan Djarot menjelang hari lengsernya. Kepada masing-masing mereka Anies bertanya: apakah saya bisa percaya kepada saudara? Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi seperti “pakta integritas” untuk mengukur komitmen dan loyalitas para pegawai. Apakah Anies akan berani mengganti para pejabatnya yang dianggap tidak becus bekerja? Ada waktu 6 bulan bagi Anies untuk menilai para pejabatnya. Setelah itu, kita tunggu Anies membuktikan ketegasannya.
Masih soal birokrasi. Baru-baru ini Anies-Sandi membentuk team KPK (Komite Pencegahan Korupsi) DKI. Mirip Komisi Pemberantasan Korupsi, hanya beda tugas dan wewenang. Anies-Sandi memilih Bambang Widjajanto sebagai ketuanya. Dibantu Komjen (purn polisi) Oegroseno, Nursyahbani, Tatak Ujiyati, dan Muhammad Yusup. Mereka adalah orang-orang yang tidak diragukan lagi pengalaman, kapasitas, ketegasan dan integritasnya. Bambang Widjajanto adalah mantan wakil ketua KPK. Pengalamannya di KPK membuat indra penciumannya terhadap koruptor sangat peka. Bagi pejabat dan pegawai DKI, juga pengusaha yang bermain proyek dengan pemprov DKI, rasanya ngeri-ngeri sedap. Dibantu salah satunya oleh Oegroseno, mantan wakapolri ini dikenal sebagai polisi yang paling tegas soal urusan duit.
Komposisi KPK DKI di atas memperlihatkan keseriusan gubernur DKI sekarang untuk memastikan “good and clean government.” Dengan pengawasan ini diharapkan tidak akan ada lagi kasus seperti suap reklamasi Teluk Jakarta, lahan rumah sakit Sumber Waras, taman BMW, tanah Cengkareng, dan yang lain.
Team KPK DKI diharapkan bisa serius mengawasi secara detil dan jeli semua operasional proyek yang ada di DKI. Tidak hanya itu, mesti ada keberanian untuk merekomendasikan teguran hingga pemecatan bagi pegawai dan pejabat yang terindikasi korupsi. Bahkan melaporkan bukti temuannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Apakah tim KPK DKI ini punya nyali? Kita tunggu kerja mereka.
Korupsi yang menjadi masalah serius di era demokrasi bebas dan liberal ini mesti mendapatkan penanganan khusus. Langkah Gubernur DKI patut diapresiasi. Langkah ini layak menjadi inspirasi yang bisa diikuti oleh para pemimpin daerah yang lain.
Sejumlah langkah dan kebijakan Anies perlu didukung, tidak saja oleh masyarakat Jakarta, tapi terutama oleh DPRD dan pemerintahan pusat. Selama bertujuan untuk membangun kota dan mensejahterakan warga Jakarta, serta tentu saja tidak melanggar aturan, maka tidak ada alasan untuk tidak mendukung.
Mengandaikan perbandingan ketegasan dan langkah taktis Anies dengan Ahok, ketemu perbedaannya. Jika Ahok dikesankan tegas dengan marah dan menggusur, maka Anies dengan kebijakan dan berani ambil resiko demi keberpihakan kepada rakyat kecil.
Bagaimana dengan Jokowi? Jokowi kurang beruntung. Publik terlanjur “mengesankan” Jokowi sebagai pemimpin yang suka membonsai lawan dengan aturan. Perppu ormas, sandera hukum dan kriminalisasi sering dilekatkan citranya oleh publik kepada orang nomor satu di Indonesia ini. Jokowi dianggap tegas kepada lawan politik, tapi lembek terhadap kawan politiknya. Ini soal citra dan persepsi masyarakat. Karena politik berada di dua ranah itu.
Tidak hanya ulama, belakangan Demokrat pun berteriak. Mereka menuduh penguasa telah melakukan kriminalisasi terhadap sejumlah kader Demokrat yang berniat maju di pilkada serentak 2018.
Citra yang kurang baik pada Jokowi menjadi pelajaran bagi Anies untuk lebih berhati-hati soal aturan. Anies nampak berupaya tegas soal bagaimana berkomitmen terhadap aturan. Dan ini telah dibuktikannya dalam kasus penghentian reklamasi dan Alexis. Keduanya dianggap telah menabrak aturan. Bahkan pembelian rumah sakit Sumber Waras dianulir, karena tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Anies tergolong gubernur yang fenomenal. Meski baru beberapa bulan kerja, sekitar 96% masyarakat Jakarta telah menerimanya. Istilah anak mudanya: banyak yang sudah “move on”. Hanya tersisa 4% yang kadang-kadang suaranya lebih nyaring.
Sesuatu yang wajar, di era demokrasi ada perbedaan. “Likulli ra’sin ra’yun”, kata pepatah Arab. Setiap kepala ada pendapat. Perbedaan bisa mengisi ketidaksempurnaan seorang pemimpin. Karena itu, perbedaan mesti dikapitalisasi menjadi motivasi dan langkah yang konstruktif.
Jika Anies konsisten dengan sikap tegas dan keberpihakan kepada rakyat kecil, sangat terbuka kemungkinan rakyat menghendakinya maju ke pilpres 2019. Buktikan dulu kepada rakyat melalui program dan kebijakan di DKI Jakarta, nasib baik hanya untuk mereka yang berniat dan berikhtiar baik. [mc]
*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.