Nusantarakini.com, Jakarta –
Di negara dengan Sistim Presidensiil seperti Amerika Serikat, tidak ada Mahkamah Konstitusi, melainkan Mahkamah Agung; sebagai satu-satunya Kekuasaan Peradilan. Di kebanyakan Negara di Eropa, khususnya yang menganut Sistim Parlementer, ada Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak jelas, apakah ada atau tidaknya MK terkait dengan Sistim Pemerintahan Negara. Bagaimana pula, kalau ada Sistim Pemerintahan Campuran?! Yaitu, ada Presiden yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tapi juga ada Perdana Menteri, seperti pernah terjadi di Perancis, Turki, Cina dan Rusia.
Di Indonesia yang Presidensiil, pernah ada Perdana Menteri dan pernah ada sekian Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Tetapi baru setelah ada Amandemen terhadap UUD45 Asli sebuah MK didirikan (2003).
Salah satu Tugas MK adalah Uji Materi terhadap Undang-Undang Dasar. Di dalam UUD’49 dan UUD’50, ketika Sistim Pemerintahan adalah Parlementer, Tugas Uji Materi dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Konstitusi yang merupakan bagian Ad Hoc dari Mahkamah Agung. Tidak diketahui, apakah pada masa 1949 s/d 1959 pernah terjadi Perkara Uji Materi.
Lewat UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara singkat dapat disebutkan, bahwa Permohonan Uji Materi dilakukan dengan menyebutkan pasal, ayat dan/atau bagian dari undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD45. Permohonan bisa ditolak seluruhnya, artinya tidak terbukti adanya pertentangan dengan UUD45. Atau, bisa pula dikabulkan sebagian atau seluruhnya dari materi yang duanggap bertentangan dengan UUD45.
Tentang Perkara LGBT dan Hubungan Seks yang Menyimpang, sebutlah begitu, Permohonan Uji Materi yng diajukan meliputi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Pasal 284 adalah tentang Zina, pasal 285 tentang Perkosaan dan pasal 292 tentang Pencabulan sejenis terhadap anak-anak.
Sedang Pemohon, di antaranya beberapa Gurubesar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam Permohonannya menyampaikan Bukti-bukti disertai dengan Saksi-saksi serta Ahli-ahli yang menunjukkan, bahwa dampak buruk dari praktek LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) dan Hubungan Seks Menyimpang sungguh mengerikan. Antara lain, munculnya berbagai penyakit yang sulit diobati, dan yang bisa merusak, baik dalam jangka pendek maupun panjang, terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, dalam Permohonannya, tidak ditunjukkan dengan jelas bagian mana dari Pasal-pasal tersebut di atas yang dianggap bertentangan dengan UUD45, melainkan Pemohon meminta agar MK menambahkan ayat-ayat atau materi baru yang melarang praktek LGBT dan Hubungan Seks Menyimpang. Jelas sekali, bahwa KUHP memang tidak memuat materi tersebut, selain apa yang sudah baku selama ini di Bab XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesopanan (Pasal 281 s/d 383.bis). Karena itu, sesuai dengan kewenangan MK seperti disebut di atas, Permohonan Uji Materi DITOLAK oleh MK. Termasuk di situ, empat orang dari 9 hakim menambahkan opini yang berbeda.
Penolakan oleh MK tersebut tidak dimaksud untuk MELEGALISASIKAN LGBT, Hubungan Seks Menyimpang, Zina, Perkosaan dan Pencabulan, melainkan MK tidak punya kewenangan MENAMBAHKAN MATERI BARU terhadap Pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji secara materiil. Mahkamah Konstitusi tidak melihat adanya PERTENTANGAN dari Pasal-pasal 284, 285 dan 292 terhadap UUD45. Oleh sebab itu,perbuatan Zina, Perkosaan dan Pencabulan tetap dilarang. Mahkamah Konstitusi tidak punya wewenang untuk menambahkan materi tentang LGBT dan Hubungan Seksual Menyimpang, karena itu merupakan kewenangan Pembuat Undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR. Sekalipun begitu, para Hakim Konstitusi seluruhnya SETUJU MELARANG Praktek LGBT dan Hubungan Seks Yang Menyimpang.
Seharusnya, di dalam Petitum dari Permohonan Uji Materi itu disebutkan dengan jelas, Putusan yang seperti apa yang diharapkan dari Pemohon. Kalau Putusan yang diharapkan dari MK berada di luar kewenangan MK, maka sejak Proses Dismissal atau Pemeriksaan Awal atas Surat Permohonan Uji Materi, sudah bisa DIKETAHUI dan dengan begitu Surat Permohonan perlu DIPERBAIKI sebelum Sidang-sidang berlanjut atau DITOLAK sejak awal.
Oleh sebab itu, sangat mengherankan apabila Perkara LGBT dan Hubungan Seks Menyimpang ini sampai mencapai rekor, lamanya dua tahun, dengan 20 kali sidang, berada di tangan MK. Dalam masa itu, dua orang Ibu Pemohon sempat hamil dan melahirkan masing-masing seorang bayi.
Karena itu, tidak heran betapa kecewanya para Pemohon, yang selama dua tahun merasa diberi hati dan kesempatan dengam menghadirkan para Saksi, Ahli dan Bukti-bukti… lalu pada saat terakhir ternyata Permohonan DITOLAK.
Kami juga pernah mengajukan Permohonan Uji Materi dua kali, pada 2006 dan 2017. Pada 2006, kami mohon agar Pasal 134, 136.bis dan 137 Tentang Penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden dicabut; hasilnya DIKABULKAN seluruhnya. Pada 2017, kami memohon agar Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara Nomor 1/2004 dicabut; hasilnya DIKABULKAN sebagian.
Kembali kepada Perkara LGBT dan Hubungan Seksual Menyimpang, MK menyarankan agar Pemohon mendesak Pemerintah dan DPR segera menyelesaikan tugasnya dengan memasukkan materi LGBT dan Hubungan Seksual Menyimpang itu ke dalam KUHP. Menurut saya lebih baik dan lebih cepat, apabila Pemerintah Menyusun UU Khusus Tentang Pidana LGBT dan Hubungan Seksual Menyimpang, tidak perlu harus masuk ke dalam Program Reformasi KUHP. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia.