Empat pemimpin daerah berhasil menggaungkan namanya ke tingkat nasional. Semua prestasi dicapai mengedepankan kepentingan khalayak ramai dan disulap menjadi luar biasa. Para pemimpin ini memiliki visi yang menjadi harapan rakyat sebagai sosok yang mampu menciptakan perubahan lebih baik. Sang Visioner pun tersemat di dada mereka.
Hasil riset Lembaga Survei Independen (LSI) Jakarta ini merilis empat tokoh lokal yang sudah berprestasi skala nasional tersebut adalah Dr (HC) Ir Tri Rismaharini MT kini menjabat sebagai Walikota Surabaya.
Menyusul HM Ridwan Kamil ST MUD Walikota Bandung, Dr Ones Pahabol SE MM Mantan Bupati Yahukimo dan Profesor Nurdin Abdullah Bupati Bantaeng.
LSI merekomendasi keempat tokoh nasional ini telah banyak dan memiliki andil besar dalam peningkatan dan kemajuan daerah, dengan konsep dan kebijakan yang berpihak ke masyarakat luas.
Hal ini ditegaskan Direktur LSI Jakarta, Ridwan Achmad kepada sejumlah wartawan di Jakarta Selatan, Selasa, 12 Desember 2017.
Achmad juga menambahkan, peran aktif keempat tokoh ini sebagai hasil akademik yang dirindukan rakyat sebagai motivasi ke depan.
“Empat pemimpin daerah ini memiliki andil dalam peningkatan dan kemajuan daerah mereka masing-masing, baik melalui konsep dan kebijakan yang berpihak ke masyarakat, maupun prestasi yang telah dicapai” jelas Achmad.
Achmad juga menambahkan, peran aktif keempat pemimpin daerah ini sebagai hasil akademik yang dirindukan rakyat dan motivasi untuk menjadi pemimpin yang pro rakyat.
Dijelaskan Achmad, ada beberapa indikator penilaian yang merucut pada keempat tokoh itu. Diantaranya, Menciptakan Stabilitas Keamanan, Memotivasi Usaha Ekonomi Rakyat, Membangun Kesehatan Masyarakat, Memotivasi Pendidikan Masyarakat, Menjalankan Kebijakan Pro Rakyat.
Selain itu, tambah dia, Membangun dan Menata Infrastruktur, Mengurangi Tingkat Kemiskinan, Mengedepankan Pemerataan Pembangunan, dan Menjalankan Prinsip-prinsip Demokrasi serta Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa.
Diakui Achmad, sebelumnya ada sepuluh nama yang masuk penilaian indikator tersebut. Dari kesepuluh nama itu LSI membagi persentasi atas keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai menjadikan mereka sebagai tokoh yang sudah menasional. Seperti skala prioritas tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien yang diwujudkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat di sekujur wilayah pemerintahan. Sub indikator dari kajian demokrasi modern yang menyebutkan ada korelasi antara kesejahteraan rakyat dan tata kelola pemerintahan, dengan pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi.
“Hipotesisnya, warga memilih pemerintah bila kondisi ekonomi baik, bila tidak, pilihannya akan berbalik,” sebut dia.
Pilihan rasional ini dijelaskan dengan prinsip pemahaman secara detail atas kebijakan pemerintah, namun masyarakat dapat menyimpulkan, sejauh mana kebijakan tersebut menguntungkan.
Selama ini, kata Achmad, untuk mengukur kinerja kepala daerah, banyak indikator yang tersedia. Ada yang dibuat oleh lembaga negara, lembaga pendidikan dan penelitian, lembaga nonpemerintah, bahkan media massa, atau sejumlah indikator yang dikeluarkan oleh lembaga internasional lainnya.
Misalnya pengukuran tingkat kemiskinan dalam laporan Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan BPS. Ada pula penilaian kepatuhan pelayanan publik Ombusdman RI, laporan akuntabilitas dan kinerja kementerian/lembaga negara dan Pemda dari KemenPAN-RB, tata kelola pemerintahan melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Achmad menguraikan, bahwa pengentasan kemiskinan, berkorelasi dengan tata kelola pemerintahan. Dalam riset LSI, pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah dianggap lebih dekat dengan masyarakat lapisan paling bawah dengan program kebijakan daerahnya yang berdampak nyata.
Dari 101 daerah peserta Pilkada 2017, persentase warga miskin pada 2015 cenderung menurun, namun sebagian lain meningkat dibanding 2012. Sementara di 82 daerah dengan Paslon petahana, 49 daerah mengalami penurunan, dan 30 daerah mengalami peningkatan. Sedangkan pada tiga daerah tersisa, datanya tidak tersedia.
Angka persentase jumlah penduduk miskin digunakan adalah versi BPS (Badan Pusat Statistik) pada periode 2012 dan 2015. Rentang data itu untuk memotret kinerja kepala pemerintahan daerah selama menjabat, apakah berhasil mengurangi kemiskinan atau justru sebaliknya.
“Data kemiskinan ini diolah BPS berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilansir dua kali setiap tahun. Lebih jauh tentang data kemiskinan dan metodologi pencuplikan survei bisa dilihat dalam Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/ Kota 2012 dan 2015,” terang dia.
Berdasarkan data tersebut, penurunan kemiskinan paling curam dicapai Kabupaten Sarmi, Papua, sebesar -4,97 persen. Sedangkan kenaikan persentase penduduk miskin, tertinggi berlaku di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh; mencapai 3,80 persen.
“Ada tiga daerah yang data kemiskinannya tidak termuat di BPS, yakni Kabupaten Buton Tengah, dan Muna Barat, Sulawesi Tenggara, dan Nduga, Papua. Tiga daerah ini, tidak termasuk dalam penelisikan,” ungkap dia, ditemani tiga direktur lainnya.
Selain merujuk ada data kemiskinan, jelas Achmad, indikator lainnya adalah keberhasilan pembangunan fisik maupun nonfisik. Pemanfaatan dana rencana strategis pembangunan desa maupun dana pengembangan usaha agribisnis perdesaan berujung pada prinsip keotonomian dan pemberdayaan masyarakat.*