Nusantarakini.com, Jakarta –
Di penghujung tahun 2016, umat Islam di Indonesia telah mengukir sejarah. Sekitar 7 juta umat Islam berhimpun di Jakarta pada hari Jumat Berkah tanggal 2 Desember 2016. Puncak dari serangkaian Aksi Bela Islam. Hampir tidak pernah terjadi, baik di masa lalu atau di zaman sekarang, sekitar 7 juta umat Islam berhimpun dengan semangat keagamaan yang sama. Jumat 2 Desember 2016 telah menjadi mungkin Shalat Jumat terbanyak jamaahnya yang pernah ada di muka bumi.
Umat Islam berhimpun dipicu oleh ucapan penghinaan dari Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), saat menjabat Gubernur Jakarta. Ia menyatakan jangan mau dibohongi pakai ayat al-Maidah 51. Penghinaan kepada satu ayat al-Qur’an (al-Maidah 51) dan kepada para Ulama/ustadz yang menyampaikan al-Maidah 51, telah membangunkan umat Islam Indonesia yang selama ini tertidur dengan lelapnya. Umat Islam bergerak massif dan militan. Kaum Santri Ciamis yang dihadang jika berpergian ke Jakarta menaiki bus, akhirnya bertindak heroik, memilih berjalan kaki sekitar 300 km agar bisa sampai ke Jakarta.
Sangat penting mengimbas kembali makna al-Maidah 51. Sebuah kata bisa memiliki banyak arti. Kata bunga misalnya, bisa bermakna bunga bank, jenis tumbuhan, dan bisa bermakna kiasan seperti bunga desa. Jika sebuah kalimat tertulis, “Saya memetik sekuntum bunga di taman.” Makna bunga pada kalimat tersebut tidak bisa dimaknai bunga bank ataupun makna kiasan. Arti bunga dalam kalimat tersebut adalah jelas, sejenis tumbuhan. Tidak bisa diartikan kepada makna bunga yang lain. Jadi, makna yang banyak di dalam kamus perlu dipilih dan disesuaikan dengan konteks kalimat. Begitu juga dengan arti waliy atau awliya’ adalah teman dekat, teman setia, pelindung, penolong dan pemimpin. Semua arti wali atau awliya memiliki unsur kedekatan. Tidak ada makna yang antagonistik dan kontradiktif. Namun, banyaknya arti waliy atau awliya’ perlu dipilih dan disesuaikan dengan konteks, dalam hal ini al-Maidah 51.
Fakhruddin ar-Razi, seorang ulama yang berwibawa (w. 1210), dalam tafsirnya at-Tafsirul Kabir (Tafsir Besar), memaknai awliya sebagai Penolong. Bagi ar-Razi, arti ayat al-Maidah 51 adalah, “Wahai orang orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Penolong kalian. Sesama mereka adalah Penolong kepada yang lain. Siapapun yang menjadikan mereka sebagai Penolong, maka sungguh ia adalah bagian dari mereka. Sungguh Allah tidak memberi hidayah kepada orang orang yang zalim.”
Ar-Razi memaknai awliya’ dalam ayat al-Maidah 51 sebagai ansar (penolong penolong). Sebabnya, kata waliy juga digunakan di dalam al-Maidah ayat 55, Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Penolongmu (waliyyukum) kalian hanyalah Allah dan RasulNya dan orang orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). Terkait dengan awliya’, kata kerja yatawalla digunakan dalam ayat al-Maidah 56, Allah berfirman yang artinya: “Siapapun yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang orang yang beriman, sebagai Penolongnya(yatawallaa), sungguh pengikut (agama) Allah itulah yang menang. Kata awliya juga digunakan dalam al-Maidah ayat 57. Dalam pandangan ar-Razi arti awliya dalam al-Maidah 57 juga adalah Penolong. Sebagaimana kata awliya dalam surat at-Taubah 71, Allah berfirman: “Dan orang yang beriman laki laki dan perempuan adalah Penolong (awliya’) sesama mereka.”
Bagi ar-Razi, sangkin jelasnya tidak bolehnya kepemimpinan Non Muslim adalah sesuatu yang sudah terbukti dengan sendirinya (badihiy). Tujuan kepemimpinan dalam Islam selain untuk memakmurkan masyarakat juga agar masyarakat melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi laranganNya. Kesadaran menaati perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi laranganNya tentunya tidak dianggap penting bagi Non Muslim. Jadi, urusan kepemimpinan sebenarnya sudah selesai, tidak perlu dibahas lagi karena memang sudah jelas ketidakbolehannya.
Allah memerintahkan dalam al-Maidah 51 agar umat Islam menjadi umat yang berdikari, umat yang mandiri dalam pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan dan keamanan. Ironinya, umat Islam Indonesia sekalipun terbesar di dunia, namun punya ketergantungan yang tinggi kepada umat beragama yang lain. Umat Islam tidak bisa menjadi umat yang terbaik jika kemandirian ekonomi, politik, dan pendidikan misalnya, tidak bisa diwujudkan. Oleh sebab itu, sudah saatnya umat Islam bergerak untuk meningkatkan kemandirian dalam segala lini kehidupan. Hanya dengan kemandirian dalam berbagai ranah kehidupan, kekuatan dan wibawa umat bisa terbentuk. Tentu saja terbuka ruang lebar bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan agama dan umat lainnya. Namun, jika umat lemah maka umat akan menjadi tersubordinasi kepada berbagai kepentingan yang ada. Kemandirian dalam kehidupan adalah jalan bagi terwujudnya kebangkitan Islam. Semoga umat Islam Indonesia bisa lebih mandiri. Semoga dengan kemandirian itu, kebangkitan Islam juga bisa diwujudkan dari Indonesia yang memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia. [mc]
*Adnan Armas, Ketua McJAK (Muslim Cinta Jakarta).