Nusantarakini.com, Jakarta –
Sekarang ini, Polisi dibuat bingung oleh kasus pelecehan agama yang dituduhkan kepada politisi Nasdem asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Victor Laiskodat. Dia dipolisikan oleh Gerindra, PAN dan PKS sehubungan dengan “ujaran kebencian” ketika dia, dalam pidatonya di Kupang, awal Agustus, mengatakan bahwa ada empat partai yang mendukung radikalisme dan konsep khilafah, yaitu Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat.
Laiskodat mengatakan pula bahwa negara khilafah akan mewajibkan semua orang sholat dan tidak boleh ada perbedaan..
Tiba-tiba saja pada tanggal 21 November 2017, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak, mengatakan bahwa Polisi menghentikan penyidikan kasus Laiskodat dengan alasan dia menyampaikan pidato di Kupang dalam kapasitas sebagai anggota DPR sehingga dia memiliki imunitas (kekebalan) sesuai dengan UU MD3 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Tetapi, dua hari kemudian pada 23 November 2017, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto, membantah berita tentang penghentian penyidikan kasus itu. Dia mengtakan, “Tidak benar.”
Berkata Rikwanto, polisi akan menunggu hasil sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) DPR yang akan memutuskan apakah Laiskodat berbicara di Kupang dalam kapasitas sebagai anggota DPR atau pribadi.
Sejak Laiskodat dilaporkan ke Bareskrim awal Agustus, boleh dikatakan lambat sekali penanganan kasus ini. Beberapa hari lalu, polisi seolah masih berada di tahap awal sekali. Misalnya, mereka baru mau mengundang ahli bahasa untuk meneliti pidato Laiskodat. Heran, kok baru sekarang mau meneliti aspek bahasanya?
Tidak masuk akal polisi memerlukan waktu sebegitu lama untuk menetapkan status Laiskodat. Padahal, bukti ujaran kebencian dan penistaan agama, sudah sangat jelas. Isi pidato agitatif Laiskodat sangat mudah dipahami. Sebagaimana mudahnya Polisi memahami “ujaran kebencian” yang menyebabkan Jonru Ginting disekap di dalam penjara sekarang ini.
Ini menyebabkan masyarakat memunculkan sangkaan bahwa Polisi menerapkan kebijakan tebang pilih. Sebab, “gergaji hukum” yang dipakai polisi tidak mampu menebang “pohon keras” seperti Laiskodat. Beliau tergolong “pohon khusus” yang, kalau disentuh oleh Polisi, justru Pak Polisi yang akan terpental. Karena itu, sejak awal kita saksikan Polisi tidak berani mendekati politisi andalan Pak Surya Paloh itu.
Tak tersembunyikan bahwa Pak Paloh melihat Laiskodat sebagai aset penting, tidak hanya bagi partianya melainkan bagi pribadi pemimpin spiritual Nasdem itu sendiri. Sebagai pemimpin spiritual Nasdem, Pak Paloh menganggap Laiskodat sebagai “mantera” yang paling mujarab untuk urusan dekorasi nasionalisme Nasdem. Laiskodat juga diberi tempat istimewa sebagai lambang toleransi. Seolah, Nasdem akan lenyap tanpa dia.
Tampaknya Pak Polisi memahami posisi Laiskodat. Kebetulan, pengaruh Pak Paloh memang membahana di jantung kekuasaan. Polisi sangat sensitif melihat itu dan mengerti betul bagaimana cara menerjemahkan pengaruh Pak Paloh ke dalam kasus Laiskodat. Tampaknya, memainkan “delaying tactic” (taktik lambat) dalam penanganan kasus ini adalah salah satu cara yang dilakonkan Pak Polisi.
Selain faktor Pak Paloh sebagai pendukung setia pemegang kekuasaan, Laiskodat sendiri kelihatannya –sekali lagi: kelihatannya– memiliki sejumlah teman akrab di level atas Polri. Boleh jadi, faktor ini ikut membentuk sikap “tebang pilih” di kepolisian.
Tetapi, Pak Polisi juga sadar puluhan juta mata rakyat menyoroti mereka. Karena itu, ketika keluar penyataan penghentian penyidikan kasus Laiskodat dari Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak, bagian lain di Polri menjadi kebingungan. Dua hari kemudian, Brigjen Rikwanto membantah adanya penghentian.
Kepada Pak Polisi, kita ingin mengatakan bahwa stakeholder (pemilik) terbesar di republik kita ini (Umat Islam -red) telah menunjukkan toleransi yang sangat tinggi dan masih terus rela mempertingginya demi persaudaraan dan ketahanan NKRI. Tetapi, klalau Laiskodat bisa melakukan penistaan agama dan agitasi tanpa ada sanksi hukum, kami khawatir rakyat akan menggoreskan lagi kesan buruk tentang Polri.
Kita ingatkan semua pihak, termasuk Nasdem, MKD, Pak Polisi, dan pihak-pihak lain yang berusaha melenyapkan kasus ini bahwa upaya Anda untuk menyelamatkan Victor Laiskodat sangat berpotensi menghancurkan semua sistem kebangsaan yang ada, terutama sistem hukum dan kemasyarakatan yang telah kita bangun dengan susah payah.
Sekali lagi, Anda selamatkan Laiskodat tetapi Anda lupa bahwa pada saat bersamaan Anda hancurkan pondasi hubungan antrakomunal yang gampang rapuh itu. [mc]
*Asyari Usman, Eks wartawan senior BBC.