Nusantarakini.com, Jakarta –
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam dengan akronim KAHMI telah selesai melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung tanggal 17-19 November 2017 di Medan, Sumatera Utara.
Perhelatan akbar Kahmi lima tahun sekali dibuka oleh Presiden Jokowi dan ditutup oleh Wapres JK. Acara ini sangat semarak karena dihadiri utusan dan peninjau dari kahmi nasional, wilayah, kabupaten dan kota seluruh Indonesia dan Kahmi jalan sehat
Demokrasi Dalam Persidangan
Proses persidangan berlangsung demokratis. Sebagai contoh, steering committee (panitia pengarah) semula menjadwalkan pemilihan presidium setelah pengesahan tata tertib sidang, tetapi diprotes oleh utusan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak lain adalah Ketua Majelis Wilayah KAHMI yang juga ketua DPRD NNT. Alasannya, bahwa pemilihan ketua umum lazimnya setelah sidang-sidang komisi. Protes tersebut diterima oleh pimpinan musyawarah yang dipimpin Manimbang Kahariyadi.
Begitu juga dalam sidang komisi A yang membahas Anggaran Dasar KAHMI, Akbar Tandjung, senior KAHMI mengusulkan supaya koordinator presidium dipilih secara musyawarah dari sembilan anggota presidium majelis nasional yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. Usul tersebut diterima dan masuk ke dalam perubahan Anggaran Dasar KAHMI. Juga dalam sidang komisi B yang membahas program kerja melalui ketuanya, saya mengusulkan supaya Majelis Nasional, Majelis Wilayah dan Majelis Daerah ada desa binaan, supaya KAHMI memberi manfaaf nyata kepada masyarakat, usul tersebut diterima.
Dahsyatnya Politik Uang
Catatan paling kelam dan merusak KAHMI, bangsa dan NKRI ialah politik uang yang dirasakan dahsyat dilakukan dalam Munas KAHMI ke X di Medan.
Kader-kader HMI yang menjadi anggota DPR dari partai Golkar, Gerindra, PAN, PPP, Nasdem, Partai Demokrat, PDIP, pengusaha, dan dari lembaga negara turun gunung bertarung memperebutkan 9 kursi Presidium majelis nasional KAHMI. Maraknya pertarungan para politisi di KAHMI sangat terkait dengan event politik 2019.
Mereka memperlakukan KAHMI seperti layaknya partai politik dengan melakukan berbagai pertemuan di daerah untuk memobilisir pengurus KAHMI wilayah dan daerah yang mempunyai hak suara. Sudah tentu setiap pertemuan tidak gratis.
Para delegasi dari daerah difasilitasi dengan membelikan tiket dari daerah asal ke Medan pulang pergi, booking hotel dan fasilitas lainnya serta diduga pemberian sejumlah uang.
Politik uang tak obahnya angin; dirasakan ada, tetapi tidak mudah membuktikan adanya. Yang terasa adalah dampaknya. Tiga hari menjelang Munas KAHMI, semua kamar hotel ditempat Munas dan di berbagai hotel di sekitar arena Munas KAHMI sudah habis di-booking oleh para tim sukses.
NKRI Rusak
KAHMI adalah tempat berhimpunnya cendekiawan terpandang yang pernah dilatih di HMI, sehingga saya menyebut alumni HMI sebagai ulama, sebaik-baik umat, dan “ulul albab”.
Kedudukan alumni HMI yang menyandang predikat terhormat sangat diharapkan kontribusi positif mereka untuk berpartisipasi memperbaiki NKRI yang masih dirundung banyak masalah terutama korupsi.
Akan tetapi sangat miris dan menyedihkan, yang tampil memimpin KAHMI, diduga keras merupakan hasil dari politik uang. Mereka diduga menyogok para utusan KAHMI dari berbagai daerah dengan imbalan para utusan yang mempunyai hak suara memilih mereka menjadi Presidium KAHMI.
Sejatinya para cendekiawan perang gagasan atau ide untuk merebut kekuasaan bukan perang uang, kalau perang uang maka pada akhirnya akan berurusan dengan KPK.
Praktik politik semacam itu, sudah pasti memberi kontribusi yang sangat negatif bagi NKRI karena cendekiawan pun rusak tidak bisa diteladani apalagi dipercaya dalam berdemokrasi.
Saya bersyukur kepada Allah sebagai calon Presidium KAHMI tidak terlibat dan menjadi bagian dari praktik kotor yang sangat dilarang dan dikutuk oleh Allah; seperti Sabda Nabi Muhammad SAW, “La’anallahur raasyi wal murtasyi. Al raasyi wal murtasyi fin naar” (Allah mengutuk penyogok dan penerima sogok. Penyogok dan penerima sogok tempatnya di neraka).
Allahu a’lam bisshawab.
*Musni Umar, Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. [mc]