Nusantarakini.com, Jakarta –
Patut diacungi jempol, keberanian penyidik Kejaksaan Agung yang telah menetapkan Direktur Ortus Holding Ltd Edward Soeryadjaya sebagai tersangka kasus pengelolaan dana pensiun PT Pertamina tahun 2013-2015.
Kasus ini semoga tak tak digoreng atau dijadikan kambing guling oleh kepentingan partai politik yang diduga mengendalikan Kejaksaan Agung, hingga berunjung mangkrak sebagaimana kasus korupsi Kondensat TPPI yang melibatkan Raden Priyono dan Honggo Wendratno.
“Edward Soeryadjaya selaku Direktur Ortus Holding Ltd telah turut serta dalam menikmati keuntungan yang diperoleh dari hasil pembelian saham SUGI yang dilakukan Muhammad Helmi Kamal Lubis selaku Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, M Rum, dalam keterangannya (detik.com 01/11/2017).
Helmi diduga dengan melawan hukum menginisiasi dan membeli saham SUGI dengan total Rp 2 miliar lembar saham senilai Rp 601 miliar melalui PT Millenium Danatama Sekuritas, yang didugantelah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 599,4 miliar sesuai laporan BPK.
Menyusul keberanian penyidik Kejaksaan Agung yang telah menetapkan Edward Soeryadjaya sebagai tersangka, kami mendesak KPK untuk segera mengambil langkah hukum dalam menangani dua perkara mega-korupsi yang merugikan negara sangat besar dan berpotensi mangkrak:
( I ). KPK Harus Segera Keluarkan Sprindik Baru untuk Tetapkan Kembali Setya Novanto Sebagai Tersangka Korupsi
Kami mendesak KPK agar segera mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka mega-korupsi E-KTP.
Akibat dari kasus korupsi E-KTP, selain merugikan keuangan negara yang telah yang telah disampaikan oleh KPK. Kasus ini juga mengakibatkan: pertama, bocor nya informasi kependudukan ke tangan pihak asing yang berkentingan terhadap Indonesia. Kedua, masyarakat luas dirugikan dan dibuat susah dalam mengurus E-KTP.
Ketiga, berakibat meluasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menjaga rahasia data kependudukan. Sebagai contoh adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunan telpon seluler untuk mendata ulang indentitas pribadinya.
Keempat, investor asing menjadi tidak percaya terhadap kepastian penegakan hukum di Indonesia. Disatu sisi Presiden Joko Widodo katanya sibuk memberantas pungutan liar (Pungli), tapi di sisi lain Presiden Joko Widodo terlihat gagal dalam memimpin pemberantasan korupsi, yaitu bebasnya Setya Novanto dari tersangka mega-korupsi E-KTP.
( II ). KPK Harus Segera Ambilalih Kasus Mega-Korupsi Kondensat TPPI Melibatkan Raden Priyono dan Honggo Wendratno yang Mangkrak ditangani Bareskrim Polri
Kami mendesak KPK agar segera mengambilalih kasus korupsi Kondensat TPPI yang melibatkan Raden Priyono dan Honggo Wendratno yang mangkrak di ditangani Bareskrim Mabes Polri.
Sebagaimana diketahui, kasus Kondensat TPPI tersebut telah merugikan negara sangat besar, ditaksir Rp. 35 triliun. Namun, kasus tersebut saat ini mangkrak, proses penyidikan terhenti sama sekali. Bahkan Penyidik Bareskrim Polri memutuskan untuk menangguhkan penahanan dua tersangka kasus pencucian uang dan korupsi jual beli kondensat bagian negara antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha hulu Minyak dan Gas (BP Migas) dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) tersebut.
Karena itu, sangat beralasan jika kami mendesak KPK untuk segera mengambialih kasus mega-korupsi Kondensat TPPI tersebut. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kewenangan KPK telah diatur untuk mengambil semua kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan”, demikian bunyi pasal 8 UU KPK.
“Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan, Kepolisian atau Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi”, demikian bunyi ayat (3) pasal 8 UU KPK.
Kami yakin KPK akan senantiasa teguh dan mampu dalam menghadapi badai yang menghadang pemberantasan korupsi. [mc]
AWASI DAN UNGKAP KORUPSI !!
*Soeleman Harta, Jubir Presidium Nasional Kaukus Muda Berantas Korupsi (KMBK)