Nusantarakini.com, Jakarta –
Setelah saya mengamati soal sebutan Pribumi dan Non Pribumi ini murni kalimat yang dibuat oleh jaman penjajahan Belanda untuk mengadu domba; dan dilanjutkan oleh zaman ORBA juga sama dugunakan untuk mengadu domba, sekaligus menanamkan perbedaan yang cukup parah.
Saya sudah bertanya berkali-kali kepada kalangan luas melalui tulisan saya di dalam media online dan grup-grup whatsapp. Pertanyaannya, apa fungsi dan manfaat untuk kemajuan Bangsa dan Negara jika dibuat adanya perbedaan antara Pribumi dan Non Pribumi? Bagaimana cara membedakannya? Sampai detik ini saya belum mendapatkan satu pun jawaban atau komentar yang bernilai positif dari pertanyaan saya itu.
Di dalam undang-undang Negara Republik Indonesia sudah sangat jelas dilarang menyebut pribumi dan non pribumi. Dan juga dilarang mendeskriminasi etnis atau suku, ras dan agama, karena bisa merusak persatuan dan kesatuan. Dan faktanya tidak ada fungsi dan manfaatnya.
Soal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyebut harus adanya kalimat Pribumi, beberapa kali saya perhatikan, PBB ini sering kali melakukan hal-hal yang berindikasi propaganda, adu domba serta pilih kasih.
Dan cukup banyak hal-hal yang berindikasi pelanggaran HAM di dunia ini, tetapi PBB tidak melakukan tindakan proses hukum, padahal sudah ada laporan sampai ke PBB. Salah satu contoh kasus Kerusuhan Mei 98, kasus Pembantaian 1965, Kasus Munir, dan masih banyak kasus yang dilaporkan faktanya tidak ada tindakan. Jadi menurut saya PBB ini arahannya kurang jelas atau abu-abu.
Karena pada saat 9 Mei 2017 kasus terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis, PBB malahan ikutan komplain, padahal jauh dari indikasi pelanggaran HAM, dan belum ada laporan sampai kesitu. Hal ini menurut saya PBB sudah agak sembarangan dan termasuk pilih kasih.
Saya buat perumpamaan, seandainya begitu penting kalimat Pribumi, apakah tidak heran jikalau misalnya sampai dibuatnya Warga Negara Indonesia Pribumi atau Warga Negara Pribumi Indonesia atau Warga Negara Pribumi. Jika sampai terjadi seperti ini kan sudah tidak benar lagi; juga jelas sudah bertentangan dengan asas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Jadi saya menyarankan dengan tegas kepada saudara-saudari yang sebangsa dan setanah air yang taat akan hukum dan undang-undang Negara Republik Indonesia agar patuh terhadap hukum yang berlaku.
Untuk itu jangan ada lagi sebutan pribumi dan non pribumi untuk kita sesama anak bangsa yang sama-sama memiliki status Warga Negara Indonesia, agar kita tetap bersatu menjalankan asas Pancasila yang merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal ini terutama yang harus kita junjung tinggi adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua, dan bunyi di dalam Pancasila sila ketiga: PERSATUAN INDONESIA.
Kemudian jika masih ada sebutan Pribumi dan Non Pribumi, berarti kita sesama Warga Negara Indonesia ini adanya perbedaan, apakah kita boleh dan mau berubah jadinya kalimat PERBEDAAN INDONESIA? ini kan tidak lucu dan jelas tidak boleh.
Zaman sekarang sepatutnya kita sudah harus lebih bijak dan cerdas. Apapun yang kita lakukan harus ada fungsi dan manfaat yang bernilai positif untuk bangsa dan negara. Jika kita membuat atau turut menanamkan perbedaan itu sebutannya merusak persatuan dan kesatuan yang berpotensi terjadinya perpecahan.
Mulai sekarang kita sesama Warga Negara Indonesia harus bersama-sama menanamkan persatuan dan kesatuan demi kemajuan Bangsa dan Negara Republik Indonesia dan juga untuk meningkatkan jiwa nasionalisme kita bersama seluruh Rakyat Indonesia, dari sabang sampai merauke sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Indonesa Milikku.
Indonesia Milikmu.
Indonesia Milik Kita Bersama.
Jadi mulai sekarang Indonesia hanya ada satu, setiap orang yang memiliki status Warga Negara Indonesia adalah rakyat Indonesia, sudah tidak ada sebutan perbedaan Pribumi dan Non Pribumi lagi.
Sekali lagi kita junjung tinggi asas Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua. Masa lalu kita adalah sejarah, masa depan kita adalah harapan kita dan anak cucu kita. [mc]
*Kan Hiung alias Mr. Kan, Pengamat Politik dan Hukum.