Nusantarakini.com, Jakarta –
Sesudah Ki Gendeng Pamungkas (KGP) dan pengacaranya menyampaikan pembelaannya di Pengadilan Negeri (PN) Bogor Senin lalu, Hakim Ketua dengan amat mengejutkan menyampaikan pendapatnya yang jarang terjadi atau hampir tidak pernah terjadi dalam setiap pengadilan. Hakim ketua, seperti biasa dengan suara pelan dan hampir tak terdengar, sekalipun ada mikrofon, kurang-lebih mengatakan bahwa perkara yang ditanganinya ini adalah perkara kriminal; dan oleh sebab itu jangan dipolitisasi.
Kelihatannya bukan saya saja yang mendengar pendapat hakim itu terasa sumbang, tetapi juga Pengacara KGP. Kali ini agak berbeda dari pengacara-pengacara muda lainnya, pasca Bang Buyung, pada umumnya sampai sekarang. Pengacara KGP yang masih tergolong muda dari UGM ini menjawab pernyataan Hakim Ketua: “Dari sejak awal kami melihat kasus KGP ini kasus politik. Oleh sebab itulah kami menolak memberikan eksepsi, karena akan menghabiskan waktu dengan sia-sia.” Hakim Ketua yang juga masih tergolong muda sepertinya tidak menjawab, melainkan bergumam entah apa.
Aku sebut Bang Buyung, karena Bang Buyung sebagai pengacaraku dulu, bersama Pak Assegaf dan Luhut Pangaribuan, akan merespon yang sama atas pernyataan Hakim itu. Bahkan lebih keras, dalam eksepsinya, ketika membela saya, tiga orang itu sudah menuduh bahwa Perkara saya yang dituduh menghina Presiden itu adalah perkara politik yang dikriminalisasikan. Saya pun sebagai terdakwa pada waktu itu menyampaikan eksepsi yang sama. Alasan saya, saya menyebut Soeharto diktator itu dalam sebuah seminar yang dihadiri para mahasiswa dan masyarakat di Jerman; tempatnya pun di sebuah ruang universitas, TU Berlin. Bahkan ceramah yang sama pun saya sampaikan lebih dulu di Universitas Hannover dan sesudah itu di Universitas Humboldt. Ini adalah kritik kepada Pemerintah dan lingkungan politik. Sebab saya pun bicara tentang pembangunan, kemiskinan dan demokrasi, bukan semata-mata mau menghina atau memfitnah seperti pada muatan Pasal 510/KUHP.
Di zaman itu, orang pun selalu menanyakan tempatku di penjara apakah bersama para kriminal atau terpisah. Karena mereka menganggap aku narapidana politik atau Napol; istilah yang diciptakan sendiri oleh para penegak hukum: Napol dan Tapol, tahanan politik. Istilah ini, kiranya muncul lagi di zaman Jokowi. Begitu banyaknya Aktivis dan Ahli Agama yang dikriminalisasi karena ucapan-ucapan mereka yang berbau poltik, sebagai kritik dan protes terhadap kebijakan politik penguasa, tentang Anti Islam, Anti Pribumi, Pro-Cina dan Pro-Komunis. Semua itu adalah ruang politik.
Ki Gendeng Pamungkas menjadi Terdakwa, karena menyebut Cina Keparat, adanya politik Cinaisasi oleh Rezim Jokowi dan politik menjadikan Aparat Pemerintah sebagai Jongos-jongos Cina. Mestinya Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim yang ditunjuk menolak perkara itu berlanjut di Pengadilan, karena itu bukan perkara kriminal. Sesudah Ahok dinyatakan bersalah, maka perkara Buni Yani pun seharusnya ditolak untuk disidangkan. Demikian pula perkara Jamran dan Rijal, serta perkara-perkara lain yang masih antri. Sedang dalam ucapan KGP itu korbannya tidak jelas, atau bahkan tidak ada karena memang adalah suatu ekspresi yang merdeka untuk diucapkan tanpa menyebut kelompok tertentu.
Para Hakim harusnya tahu politik, agar bisa membedakan mana politik dan mana kriminal. Sebab mereka adalah Penegak Hukum. Mereka harus mempelajari kasusku yang dituduh menghina Presiden lewat Pasal 134, 136b dan 137. Majelis Hakim Peninjauan Kembali, 10 tahun kemudian, memutuskan aku tidak terbukti secara meyakinkan menghina Presiden. Semata-mata karena suasana politik sudah berubah: dulu tidak ada kemerdekaan akademik, sekarang ada. Pasal-pasal penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden itu pun dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim-hakim muda sekarang tidak mau belajar dari soal politik pemerintahan; tentang kriminalisasi politik dan tidak mau independen dari kekuasaan. Saksikan Putusan Perkara KGP, Senin (9/10/2017) besok di PN Bogor. [mc]
*Sri-Bintang Pamungkas, Mantan Napol/Tapol.