Nusantarakini.com, Jakarta –
Sewaktu kuliah dulu, di dalam salah mata kuliah tentang dasar-dasar ekonomi saya mendapat penjelasan konsep keadilan dan sejahtera menurut beberapa ideologi. Ketika itu dosen menjelaskan tentang perbandingan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme.
Setelah panjang lebar dijelaskan tentang sejarah kedua sistem ekonomi tersebut. Tiba pada satu titik pembahasan tentang konsep keadilan dan sejahtera dari keduanya. Dimana masing-masing memang mempunyai cara pandang bagaimana sebenarnya keadilan dan sejahtera dalam bidang ekonomi.
Sederhananya, menurut sosialisme dikatakan adil adalah ketika seluruh potensi kekayaan atau sumber-sumber ekonomi dalam sebuah negara itu dimiliki dan dikelola oleh negara secara penuh. Individu tidak bisa dan tidak boleh memiliki aset ekonomi untuk kegiatan produksi, namun hanya sekedar konsumsi. Ambillah contoh ketika Uni Sovyet masih ada, baik saat Lenin atau Stalin.
Dikatakan sejahtera adalah ketika paradigma sama rasa sama rata bisa diimplementasikan dalam sebuah negara. Semisal dalam aktivitas produksi, kepemilikian usaha, operasional usaha, pemasaran usaha, penjualan usaha hingga keuntungan usaha dilakukan bersama. Begitupun dalam proses distribusi agar mencapai pemerataan dilakukan dengan paradigma sama rasa sama rata oleh kendali penuh negara.
Sekilas konsep ini terlihat sangat humanis, manusiawi dan sosial. Naman pada faktanya eksistensi sistem ini tidak bertahan lama di dalam sebuah entitas politik. Bahkan tidak sampai satu abad, pasca runtuhnya Uni Sovyet dan hancurnya tembok berlin 1991.
Pandangan di atas paling tidak mewakili dasar berfikir sistem ekonomi sosialisme. Sebab pada perkembangannya, sistem yang digagas Karl Marx ini sebagai anti-tesis dari kapitalisme pada waktu itu mengalami perkembangan aliran-aliran hingga saat ini. Dan itu bukan yang sedang dibahas.
Kemudian, keadilan menurut kapitalisme adalah ketika potensi-potensi kekayaan ekonomi suatu negara diserahkan dalam mekanisme pasar bebas. Dalam bahasa yang sering saya gunakan siapapun yang mau dan mampu dia berhak memiliki apapun. Ekstrimnya dalam sistem ini orang bisa memiliki pulau, tambang, hutan dan lainnya. Negara hanya menjadi regulator.
Disebut sejahtera adalah ketika kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan kekayaan tersebut yang diserahkan dalam mekanisme pasar bebas bertumpu pada akumuluasi modal (capital). Simpelnya akan terlihat dalam statistik-statistik ekonomi, seperti pertumbuhan ekononi, PDB, perdapatan per-kapita dan lainnnya. Yang sebenarnya angka-angka tersebut cenderung tidak mewakili kondisi nyata ekonomi seluruh masyarakat. Namun itulah kesejahteraan jika angka statistik tersebut mempunyai nilai yang besar, atau di atas batas minimum.
Sekali lagi, paling tidak itulah kerangka dasar dari paradigma kapitalisme. Sebab sama halnya dengan sosialisme, dalam sistem kapitalisme hingga detik ini masih mengalami perkembangan-perkembangan hingga aliran-aliran. Dan juga bukan itu yang sedang dibahas.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan Indonesia? Ternyata terlihat bahwa sebenarnya Indonesia sudah mewujudkan paling tidak “keadilan” dalam ekonomi. “Luar biasa” ini.
Indonesia nyatanya mampu merealisasikan siapa yang mampu dan siapa yang mau sehingga dapat memiliki potensi-potensi ekonomi, sumber atau aset-aset ekonomi. Indonesia pada faktanya mampu mengimplementasikan mekanisme pasar bebas, sehingga perusahaan-perusahaan kecil bisa bebas bertarung dengan perusahaan-perusahaan besar baik milik swasta ataupun asing. Inikan “adil”.
Artinya Indonesia sudah mampu mencapai salah satu tujuan ekonomi yaitu keadilan. Keadilan menurut kapitalisme, sebab sistem itulah yang sejatinya tengah diterapkan di negeri ini.
Buktinya adalah sebagaimana pernah disampaikan Prof. Yusril bahwa 0,2 persen orang Indonesia (non-pribumi) menguasai 74 persen tanah Indonesia melalui konglomerasi, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, hph dan sebagainya.
Atau sebagaimana dinyatakan oleh Buya Syafii Ma’arif jika 80 persen tanah Indonesia dikuasai oleh asing, 13 persen dikuasai para konglomerat dan sisanya 7 persen dibagi untuk 250 juta jiwa.
Juga yang pernah disampaikan Karni Ilyas bahwa kekayaan 50 persen Indonesia adalah milik 1 persen orang Indonesia. 70 persen kekayaan Indonesia milik 10 persen orang Indonesia, serta 30 persen kekayaan Indonesia dibagi untuk 90 persen orang Indonesia.
Selain itu juga hasil riset yang pernah saya baca dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno pada Juli 2016, dikatakan bahwa 74 persen tanah Indonesia milik orang Asing.
Jadi, artinya jelas bahwa “keadilan” ekonomi sesungguhnya sudah terwujud senyata-nyatanya di Indonesia, menurut kapitalisme. [mc]
*Lutfi Sarif Hidayat, Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)