Nusantarakini.com, Jakarta –
Tumpahan minyak kelapa sawit atau biasa disebut CPO (Crude Palm Oil) yang diperkirakan mencapai 3.000 ton mencemari perairan Teluk Bayur Padang. Hal ini terjadi karena kebocoran dari salah satu tangki penampungan CPO berkapasitas 3.000 ton di Crude Palm Oil Storage Pelabuhan Teluk Bayur yang akan dieksport keluar negeri.
CPO atau minyak mentah kelapa sawit jika terbuang kelingkungan akan menjadi bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini disebabkan karena minyak kelapa sawit mengandung BOD (Biological Oxigen Demand) yang tinggi, pH rendah dan material organik sukar melapuk yang tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan habitat biota laut.
Kawasan Teluk Bayur dan perairan sekitarnya merupakan kawasan yang kaya akan ikan Pelagis yaitu jenis ikan yang hidup diperairan dangkal dengan kedalaman 0 – 200 meter. Keberadaan minyak kelapa sawit ini tentu akan mempengaruhi jenis ikan ini yang dapat menyebabkan ikan ini keracunan dan mati.
Molekul minyak akan menghalangi cahaya matahari dan oksigen masuk kelaut yang ditutupi oleh minyak sawit ini. Hal ini akan berpengaruh bagi terumbu karang dan biota bawah laut lainnya. Terhalangnya cahaya matahari dan oksigen tentu akan mempengaruhi proses fotosintesis dan respirasi biota laut dan dalam jangka panjang akan memicu terjadinya coral bleaching dan kematian biota laut.
Keberadaan minyak sawit ini tentu juga akan mempengaruhi jenis mamalia laut dan kura-kura, dimana kawasan perairan sekitar Teluk Bayur juga merupakan habitat Kura-Kura. Minyak sawit ini akan masuk kedalam paru-paru mamalia dan reptil laut ini sehingga menyebabkan mereka keracunan dan mati.
Secara sistematis, ancaman kelangsungan habitat biota laut bergantung pada Bioplankton dan mikroorganisme laut yang merupakan produsen utama rantai makanan di laut. Bioplankton dan mikroorganisme laut sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi dihabitatnya. Terganggu kestabilan habitat tentunya akan menganggu rantai makanan bagi ekosistem teluk yang rentan.
Lebih jauh, cemaran minyak sawit tersebut akan mempengaruhi bioekoregion. Dampaknya tidak hanya akan mempengaruhi ekosistem laut, tetapi juga akan mempengaruhi makhluk darat seperti jenis burung yang selama ini mencari ikan sebagai sumber makanan mereka di kawasan ini.
Meskipun secara kasat mata, Minyak Sawit terlihat menggumpal ketika terkena air laut (mineral) atau udara (oksidasi), namun sebagian asam amino dalam minyak sawit akan tetap tersisa di permukaan air tetap sebagai bahan cair (liquid). Liquid ini sukar melapuk dan berpotensi melebar karena berada dipermukaan sehingga mudah dibawa arus laut, apalagi kondisi cuaca di kota Padang saat ini hujan dan berangin kencang.
Terkait dengan kelalaian perusahaan dalam mengelola usahanya sehingga menimbulkan pencemaran, pemerintah provinsi perlu bertindak tegas untuk mengevaluasi izin lingkungan yang dimiliki oleh perusahaan. Perlu segera dilakukan review terhadap dokumen lingkungan perusahaan khususnya dalam hal pencegahan dan pengendalian dampak lingkungan dari usaha perusahaan.
Dari keseluruhan dampak, tidak hanya negara yang dirugikan oleh kelalaian ini. Nelayan sebagai masyarakat terdekat dari lokasi kejadian yang akan menerima dampak paling buruk. Sebagai warga negara, komunitas nelayan yang juga dilindungi haknya oleh undang-undang haruslah mendapat perhatian dalam kejadian ini.
Berdasarkan informasi dari narasumber WALHI Sumatera Barat, kebocoran yang diawali dengan bunyi ledakan ini harus diinvestigasi lebih lanjut. Pemerintah dan perusahaan selain melakukan pengendalian dan pemulihan lingkungan hidup pasca kejadian ini, sangat penting juga dan harus segera dilakukan adalah audit lingkungan untuk melihat dampak dari pencemaran teluk ini secara keseluruhan.
Disamping evaluasi izin lingkungan, kelalaian Perusahaan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air laut juga dapat diduga telah melanggar Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Untuk itu WALHI Sumatera Barat mendesak pemerintah bergerak cepat untuk menangani persoalan ini dan menindak perusahaan yang melakukan aktivitas tanpa mematuhi aturan hukum lingkungan. [mc]