Nusantarakini.com, Jakarta –
Djoko Edhi Abdurrahman merupakan komentator politik menonjol saat ini. Pendapat-pendapatnya cadas, tajam dan independen.
Saat NK meminta pandangannya terkait desakan rakyat agar SI MPR diselenggarakan guna menurunkan secara konstitusional Presiden Joko Widodo, Djoko Edhi melontarkan pendapat yang berbeda.
Kendati dia tidak setuju dengan mekanisme SI karena akan terhalang oleh wewenang MPR yang tidak memungkinkan, namun dia menyarankan suatu terobosan. Salah satu terobosannya ialah dengan menyelenggarakan Sidang Umum terlebih dahulu, sebelum SI digelar. Lebih lengkap, begini analisa dia.
***
Mekanisme SI, mustahil dilakukan. SI harus lebih dulu ditetapkan di SU. Itu satu. Kedua, SI harus didahului bukti dasar pelanggaran oleh Presiden. Jika subjeknya pelanggaran hukum oleh Presiden. Atau bukti dasar adanya penyelewengan oleh negara oleh negara. Contoh SI utk impeachment Gus Dur, didahului Hak Interpelasi. Lalu dijawab oleh Gus Dur. Jawaban tidak memuaskan, dijadikan dasar untuk melancarkan Hak Angket. Dijawab oleh Gus Dur dengan reaksi yang nyeleneh. Maka, hak angket dinaikkan menjadi SI. Pada saat itu Hak Angket berdasarkan UU No 6 tahun 1954 ttg Hak Angket DPR. UU ini sudah dibatalkan oleh MK pada 2011 semasa Prof Mahfuf MD. Jadi, sepenuhnya hak angket UU MD3, yang mandul. Mestinya, Hak Angket harus diatur secara lex specialis.
SI setelah Soeharto jatuh, adalah SI utk menetapkan UUD 2002. Dasarnya, sikon darurat reformasi. Pada saat itu, pelaksana SI masih ada, yaitu MPR selaku lembaga tinggi dan tertinggi negara yang beroleh amanat langsung dari UUD 1945 (asli). Pada waktu amandemen, telah diubah, kekuasaan MPR sudah tak ada, karena ia bukan lembaga super lagi menurut UUD 2OO2. Sementara untuk mengubah UUD 2002, sudah dipasangi rambu UU agar tak bida diubah oleh MPR. Kekuasaan SI sudah berubah, tidak lagi full power seperti SI pada UUD 1945. Percuma melakukan SI, yang ketika dilakukan tidak memiliki alat untuk mengambil dan menetapkan keputusan baik beschikking, beleid, maupun regeling. Jadi ketika Tito Karnavian ketakutan pada Aksi 212 Hatta Taliwang CS sampai ke DPR minta SI, dan lalu menangkapi mereka sebagai makar, itu karena kurang pahaman atas apa yang dinamakan SI MPR. Itu satu.
Kedua, MPR kini itu tak bisa apa-apa. Kekuasaannya sudah tak ada. Beda sewaktu dipimpin Amien Rais, adalah kekuasaan tertinggi. Punya alat untuk menghukum, yaitu GBHN. DPR hanya tukang tagihnya. Saat ini tak bisa, karena di bawah UUD 20O2, tiap segmen telah diatur oleh UU. Dalam Hukum Tata Negara (HTN), membaca hak konstitusi harus lewat dari UU yang mengaturnya, bukan UUD nya. Sebab, hak konstitusi berhenti ketika muncul UU yang mengaturnya. Ini keunggulan system Common Law, di mana UUD 2002 dibuat dengan metodologi Anglo Saxon, yaitu Amandemen. Kelemahannya, amandemen itu tidak sesuai dengan metodologi Amandemen, di mana naskah aslinya dibuang, dan perubahan masuk ke batang tubuh UUD 2002. Itu bukan metodologi Amandemen. Tak ada yang seperti itu dalam ilmu hukum, bahkan dalam system Civil Law, yakni Reconsideration. Kesalahan ini yang membuat kacau konstitusi UUD 2002. Aslinya dibuang. Akibatnya, bacaan HTN mengalami kekacauan. Nah, SI harus menggunakan HTN, sementara HTN nya rusak karena tak punya masa lampau. Hukum harus punya masa lampau.
Ketiga, kalau mau berhasil, cari dulu kiat persidangan SI nya. Bahwa SI memiliki kompetensi HTN utk menetapkan beleid, beschikking, dan regeling.
SI bisa disetujui jika SU menetapkan masa darurat yang memerlukan SI. Menurut saya, diperbaiki dulu MPR nya dengan Amandemen ke-V.
Keempat, karena incompetensi secara HTN dalam pengambilan beleid, beschikking, dan regeling perubahan konstitusi, sudah jelas TAP MPRS No 25/1965 tentang larangan komunis yang diminta Beathor Suryadi, mustahil dilakukan. (ke9)