Nusantarakini.com, Jakarta –
Kabar yang mendebarkan itu akhirnya sampai juga. Partai Komunis Indonesia sudah mencapai Jabung (barat Gontor). Tinggal menunggu jam saja maka mereka akan tiba di Gontor. KH Imam Zarkasyi dan KH Ahmad Sahal di bantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto tengah berembug.
Bagaimana cara menyelamatkan para santri dan Pondok. Beliau tidak peduli nasib mereka sendiri, yang beliau-beliau fikirkan nasib para santri. Bagaimana agar mereka selamat, diungsikan ke mana, dan bagaimana setelah itu. Terjadilah percakapan dibawah ini (seperti yang diceritakan Budhe saya) :
“Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing Budhal ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo Pondok wae, ora-ora lek dkenali PKI aku iki.”
(Sudah Pak Sahal, antum saja yang berangkat mengungsi dengan para santri.Yang diketahui Kyai Gontor itu ya antum. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini.)” Kata KH Imam Zarkasyi.
Kemudian Pak Sahal menjawab :
“Ora…dudu aku sing kudu ngungsi, tapi Kowe Zar. Kowe isih enom, ilmumu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati………” (Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi Kamu Zar–karena KH Imam Zarkasyi adalah adik kandung beliau. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati…”
Kedua Kyai itu berusaha meminta salah satu diantara mereka untuk pergi mengungsi. Sungguh bukan nasib mereka yang difikirkan, tapi nasib para santri. Akhirnya diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi mengungsi dengan para santri.
Penjagaan pesantren diberikan kepada KH Rahmat Soekarto. Lurah desa Gontor sekaligus Imam sholat Jumat di Gontor. Menuju ke arah timur, ke arah Gua Kusuma (masyarakat lebih mengenalnya dengan Gua Sahal). Jarak yang harus ditempuh beliau berdua dengan para santri bukan terbilang dekat, dengan kondisi jalan yang jauh dari dibilang bagus saat itu. Tapi semangat beliau berdua memang luar biasa.
Akhirnya PKI betul-betul datang. Mereka berteriak-teriak mencari Kyai Gontor.
“Endi kyai-ne?? Endi Kyai-ne?? Kon ngadepi PKI kene…..Asu Kabeh…!!”
(Mana Kyainya, Mana Kyainya? Suruh menghadapi PKI sini, Anjing semua..!!)
Mereka mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari Bambu dirusak. Kasur-kasur dibakar, buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa dibawa ke pelataran asrama, diinjak-injak dan dibakar. Termasuk beberapa Kitab Suci Al-quran.
Suasana mencekam, PKI berusaha masuk ke Rumah KH Rahmat Soekarto (Bangunan Pendopo saat ini, sekaligus Rumah Keluarga Pendiri/ Trimurti) sambil teriak-teriak tidak jelas.
“Endi lurahe?? Gelem melu PKI po ra?? Lek ra gelem dibeleh sisan neng kene..!!”
(Mana Lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau ndak mau sembelih sekalian di sini)
Tapi kuasa Allah, para PKI itu seakan-akan menjumpai dinding kokoh tak terlihat. Mereka saling dorong untuk masuk pendopo yang tanpa dinding itu, KH Rahmat Soekarto terdiam dalam dzikirnya, memohon keselamatan Gontor dan para santrinya. PKI itu semakin beringas, mereka mengcung-acungkan clurit dan cangkul. Tapi tetap tidak bisa menembus barikade “pagar ghaib” yang ada di Pendopo.
Akhirnya lasykar Hizbullah dan Pasukan Siliwangi datang. Pasukan Pimpinan KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng Jombang itu merangsek dan mengusir PKI dari Gontor. Para PKI itu lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Mereka meninggalkan apa yang mereka bawa, dan akhirnya membiarkan Gontor dalam keadan porak poranda. [mc]
*Ditulis oleh Ust. Rahmatullah Oky, cucu dari KH Rahmat Soekarto.