Nusantarakini.com, Jakarta –
Orang kafir itu tahu rahasia terdalam kekuatan asimetris orang Muslim beriman atas mereka. Bukan di peralatan perangnya. Bukan pada strategi dan taktik perangnya. Bukan pada kekuatan fisik tentaranya. Tahu Anda dimana letaknya? Yaitu pada pemahaman mereka terhadap dunia dan keyakinan mereka atas kehidupan setelah mati, yaitu akhirat. Dari sinilah kekuatan asimetrik antara kafir dan mukmin itu berpangkal dan berpusat.
Karena itu, untuk menentang kekuatan mental orang beriman itu, kaum kafir gemar mengolok-olok dan merendahkan keyakinan akhirat orang beriman tersebut. Maklum, hanya itu yang mampu mereka lakukan. Toh mereka mendustakan hari akhir itu, hari dimana yang berlaku adalah keadilan Allah, Sang Pencipta manusia.
Orang Muslim beriman itu meyakini nyatanya kehidupan akhirat dan pentingnya hidup selamat di sana. Bahkan dikatakan, para sahabat Rasul seolah-olah telah melihat dengan dekat sekali kehidupan akhirat itu di depan mata mereka.
Sementara orang kafir, mendustakan adanya kehidupan akhirat itu.
Apa konsekwensi dari dua keyakinan yang berbeda ini? Tahu Anda apa?
Yang pertama, orang Muslim yang beriman kepada akhirat itu, akan menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara. Selain itu, tidak terlalu penting dibandingkan keselamatan dan kesentosaan hidup di akhirat. Karena itu, konsekwensinya akan berbeda ukuran nilai dan keberhasilannya dengan orang-orang kafir yang mendustakan akhirat.
Asimetrik Fundamental
Bila ditarik lebih jauh lagi, apabila orang kafir dan orang Muslim beriman ini berperang satu sama lain, secara teoritik, orang beriman musti menang. Karena berlaku perang asimetrik.
Tujuan dan ukuran keberhasilan perang yang dipahami orang kafir, apabila dapat mempertahankan nyawa dan eksistensinya di dunia dan mengalahkan orang Muslim beriman. Sedangkan orang Muslim beriman, mengingat yang utama ialah keselamatan hidup di akhirat, sementara terdapat janji apabila syahid memerangi orang kafir, maka secara langsung akan sentosa hidup di akhirat, tentu saja jadinya tujuan dan ukuran keberhasilan perang mereka berbeda diametral dengan orang kafir.
Bilam mati, diyakini sebagai syahid. Sedangkan syahid, di akhirat dapat hidup selamat. Maka berlomba-lombalah orang Muslim beriman ini bertempur melawan orang kafir. Apatah lagi jika kenyataan perangnya ialah perang mempertahankan dan mengeksiskan agama.
Jika bagi orang kafir, kematian adalah hantu yang menakutkan dan mimpi buruk, atau sekurang-kurangnya risiko misterius dari suatu perang, maka bagi orang beriman dalam perang semacam itu, kematian itu bukan hal yang menakutkan. Bahkan kadangkala disongsong.
Inilah perang asimetris yang paling mendasar, yaitu perang antara Muslim yang beriman kepada akhirat dengan orang kafir yang ragu terhadap akhirat atau malah mendustakannya. Yang pertama tidak takut mati dan memandang kematian hanya soal yang ringan, maka yang kedua, selalu dihantui ketakutan menemui kematian yang malang di dalam peperangan dan menganggapnya sebagai suatu peristiwa yang berat untuk ditanggung dan mengakhiri harapannya di dunia.
Oleh karena itu, orang kafir selalu berjuang memasukkan cara berpikir mereka tentang hidup dan dunia kepada setiap manusia agar mengikuti cara berpikir mereka. Dengan samanya cara berpikir mereka tentang hidup dan dunia, maka perang asimetris dapat mereka hindari. Tinggal siapa yang paling terlatih dalam strategi dan teknik perang sajalah yang kemungkinan akan menang.
Inilah rahasia selama ini mengapa para pasukan orang Muslim yang beriman senantiasa meraih kemenangan di atas orang-orang kafir, sejak generasi pertama, di masa Nabi hingga generasi Tharik bin Ziyad, Sholahuddin Al-Ayyubi hingga Al-Fatih yang masih belia, tapi pasukannya yang gemar puasa itu sudah dapat menaklukkan benteng terakhir Romawi di Istanbul.
Afalaa tatafakkaruuun? Maka sebenarnya, menjadi jenderal terbaik di dalam suatu komunitas Muslim yang beriman, bukan bagaimana canggih mengatur strategi perang, tapi ialah apabila dapat mengikis pengaruh keyakinan hidup dan keyakinan dunia orang kafir yang terkontaminasi dalam kesadaran orang-orang Muslim beriman dan memasukkan serta menanamkan keyakinan dan perasaan dekatnya, nyatanya, terang-benderangnya janji Allah akan kehidupan setelah kematian itu. Juga benarnya janji Allah bagi orang-orang yang berjihad untuk Allah dan di jalan-Nya.
Tentu ini bukan perkara ringan dan mudah. Ini adalah perkara iman. Ini adalah perkara proses kesadaran yang memerlukan penggemblengan dan waktu.
~ Kyai Kampung